Di tengah perkembangan demokrasi dan modernisasi, Indonesia masih menghadapi tantangan signifikan dalam menjaga keadilan sosial. Ketidakpastian hukum yang persisten telah menjadi sorotan global, menimbulkan rasa frustrasi di kalangan masyarakat.
Meskipun telah ada berbagai upaya reformasi, realita di lapangan menunjukkan bahwa hukum sering digunakan secara tidak adil, cenderung menguntungkan elit daripada rakyat jelata.
Rakyat jelata, yang seharusnya dilindungi oleh undang-undang, sering kali menerima hukuman tanpa adanya perlindungan yang memadai. Sementara itu, mereka yang berada di lingkaran kekuasaan sering lolos dari jeratan hukum meskipun melakukan pelanggaran besar. Fenomena ini tidak hanya merugikan rasa keadilan masyarakat tetapi juga mengancam integritas sistem hukum kita sendiri.
Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, dalam sebuah wawancara pada Januari 2023, menyampaikan visi yang jelas tentang masalah ini: "Ketidakpastian hukum menjadi penyebab utama kemunduran Indonesia sebagai negara hukum. Tanpa reformasi nyata, kita akan terus menghadapi ketimpangan ini." Pernyataan ini mencerminkan kebutuhan mendesak untuk memahami dilema ini secara mendalam dalam konteks penerapan sanksi hukum bagi rakyat jelata dan elit.
Ketidakpastian Hukum sebagai Masalah Sistemik
Ketidakpastian hukum di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari masalah-masalah sistemik yang sudah mengakar dalam lembaga penegak hukum. Laporan Amnesty International (2023) menyebutkan bahwa "Banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia, terutama yang melibatkan individu berkuasa, tidak ditindaklanjuti secara adil.” Korupsi telah menjadi virus yang merusak inti sistem yudikatif kita. P roses hukum sering kali dipengaruhi oleh kekuatan uang dan kekuasaan, sehingga putusan pengadilan tidak lagi mencerminkan prinsip keadilan.
Misalnya, kasus korupsi besar sering berakhir dengan hukuman ringan sementara pelanggaran kecil oleh masyarakat biasa dapat menghasilkan hukuman berat tanpa perlindungan yang memadai. Menurut Transparency International (2023), Indonesia berada pada peringkat ke-96 dalam Indeks Persepsi Korupsi—suatu angka yang mengecam lemahnya akuntabilitas dalam lembaga negara.
Penelitian oleh Sultan Herlambang Yoga (2023) menunjukkan bahwa pelayanan publik yang buruk dan penyimpangan dalam penegakan hukum semakin memperburuk situasi ini. Meskipun sudah banyak penelitian tentang ketidakpastian hukum dan diskriminasi dalam penegakan hukum di Indonesia, masih ada kekurangan pemahaman tentang bagaimana perlakuan yang berbeda antara rakyat biasa dan penguasa dalam penerapan sanksi mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Penting untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk memahami alasan di balik ketidakadilan ini dan mencari cara agar sistem hukum bisa lebih adil bagi semua orang. Dengan begitu, kita bisa membantu memperbaiki kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan memastikan semua warga negara diperlakukan sama di hadapan hukum.
Diskriminasi dalam Penegakan Hukum
Diskriminasi dalam penegakan hukum di Indonesia menjadi bukti nyata ketidakadilan yang masih merajalela. Dalam laporan Bureaucracy Journal (2024), disebutkan bahwa "Individu dari kalangan elite memiliki peluang lebih besar untuk menghindari hukuman dibandingkan masyarakat kelas bawah.” Contoh konkret seperti skandal Jiwasraya menunjukkan fenomena ini. Meski melibatkan kerugian triliunan rupiah, para pelaku hanya menerima hukuman ringan. Sementara itu, pedagang kecil yang melakukan kesalahan ringan langsung dipenjara.
Fenomena ini menciptakan persepsi di masyarakat bahwa hukum hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas—aforisme yang ironis namun benar. Ucapan seorang aktivis hukum dalam diskusi Komnas HAM pada 2023 menggambarkannya dengan tepat: "Hukum seolah menjadi instrumen kekuasaan, bukan lagi alat untuk melindungi rakyat.” Situasi ini tidak hanya menciptakan kesenjangan sosial tetapi juga mengancam stabilitas politik dan kepercayaan publik terhadap negara.