Mohon tunggu...
Muhamad Hidayat
Muhamad Hidayat Mohon Tunggu... -

benci sama media dan nyamuk: http://nyasardihollywood.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

“Saya Turut Prihatin”

20 Juli 2011   08:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:32 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“SBY itu mampus saja. Sudah banyak korban,” kata Mbah Atmo Jumat lalu ketika mbonceng Suzuki Kebo saya dari Menoreh ke Boyolali, PP.

“Setuju Mbah!” kata saya.

Merapi belum selesai, walau statusnya sudah diturunkan menjadi Siaga. Ia masih mengintip kelemahan para manusia (dan pemuda) yang “ngontrak” hidup di punggungnya. Kalau tidak hati-hati, kita sama saja antri jadi TKI alias budak untuk pembangunan Merapi. Merapi masih membutuhkan lapangan olah raga dan ia butuh tenaga untuk membangunnya.

Walaupun saya yakini kalau pernyataan beliau diatas itu benar, sekarang malah rakyat yang mampus. Mampus oleh bencana alam, mampus oleh kemiskinan, mampus oleh ketidak adilan, dan mampus karena korupsi. Tidak pemimpin tidak rakyat ternyata sama saja. Sama-sama bermental korupsi. Sama-sama bejat. Sama-sama Gayus, sama-sama Ariel Peterpan. Hampir semuanya sama, cuma skala intensitas perilaku kebejatannya yang berbeda.

Bangsa ini akalnya sudah jungkir balik, moralnya sudah njengking, spiritualitasnya sudah kering, diganti dengan spiritualitas modernitas demokratis yang serba berbau payudara, keterbukaan dan kebebasan. Semua orang sibuk bingung. Sibuk melarikan diri. Sibuk menipu diri. Sedikit sekali yang rela berkorban memberikan penawaran-penawaran kepada Tuhan atas ketersesatan teman-temannya.

“Saya turut prihatin,” kata beberapa teman saya setelah mengetahui bahwa saya sekarang nggelandhang, homeless, kere dan sejenisnya… “Saya lebih prihatin, teman!! Sangat prihatin,” pekik hati saya memrotes. Tidak prihatin pada diri saya, tapi prihatin pada nasib bangsa Indonesia. Biarlah saya mati, hancur atau menghilang, tak akan ada yang menyesali. Saya ini apa sih? Tetapi saya kasihan pada para korban bencana dimana saja, pada tetangga-tetangga saya, pada semua korban Merapi, baik yang selamat maupun yang tiada. Saya kasihan pada mereka yang sudah tidak punya apa-apa lagi, yang kehilangan keluarga tercinta. Yang kehilangan rumah, tanah, ternak, masa depan dan harapan.

Tapi saya sangat lebih kasihan pada mereka yang bukan korban, yang masih memiliki segalanya, yang masih memiliki rumah, pekarangan, pekerjaan dan harapan hidup, yang masih sehat dan hidup, tapi sangat mencintai bencana. Saya sangat kasihan pada mereka yang memanfaatkan momen bencana sebagai momen untuk mengemis, menimbun bantuan dan mencari untung. Saya sangat kasihan pada mereka yang tidak peduli sesama, yang berebut bantuan tanpa berpikir bahwa masih banyak manusia yang lebih berhak mendapatkannya. Saya kasihan pada semua yang pura-pura tidak tahu kalau ada bencana.

Saya menangis. Saya sangat kasihan pada mereka. Yang antri untuk menjadi budak, di Merapi dan dimana saja.

Muhamad Kebo Hidayat

5 Desember 2010

Gunung Madu, Gemolong, Boyolali

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun