Saat ini permasalah mengenai kesetaraan gender cukup menarik perhatian, dari turun temurun dan adat istiadat nenek moyang kita membuat wanita dinomor duakan, hal ini adanya kesenjangan antara perempuan dengan laki laki. penulis menyuarakan perlakuan adil dan setara terhadap semua individu tanpa memandang jenis kelamin.
Berbicara tentang tokoh emansipasi wanita tidak luput dari peran Raden Dewi Sartika, nama Raden Dewi Sartika sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia bahkan tanggal lahirnya diabadikan dan diperingati sebagai hari Kartini oleh seluruh masyarakat Indonesia. Kartini merupakan intelektual produk Politik Etis pada awal abad ke-19, sejak itu Raden Ajeng Kartini memperjuangkan kesetaraan gender yang dikenal dengan perjuangan emansipasi. Refleksi kritis Kartini tentang keadaan kaum wanita pada zamannya merupakan embrio tumbuhnya nasionalisme meskipun sifatnya masih samar (Sudrajat, 2007). Penyebab tidak merata nya kesetaraan gender salah satu nya banyak menganggap perempuan makhluk yang lemah.
Tidak luput dari peran Raden Ajeng Kartini, Raden Dewi Sartika juga adalah salah satu tokoh emansipasi wanita yang lahir di Bandung, 04 Desember 1884. Sejak kecil, Raden Dewi Sartika sudah menunjukan bakat dan kegigihannya untuk meraih kemajuan dalam bidang pendidikan, hal ini dibuktikan ketika Raden Dewi Sartika masih berumur 10 tahun digemparkan dengan kemampuan baca tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa belanda.Â
Tahun 1902 Raden Dewi Sartika menyadari adanya ketidak merataan Gender Equality, hal yang ia sadari ketika adanya diskriminasi terhadap kaum wanita di lembaga pendidikan, semakin marak nya pernyataan pernyataan dikalangan masyarakat waktu itu, Raden Dewi Sartika mulai merintis pendidikannya, berkat kegigihan nya Raden Dewi Sartika berhasil mendirikan Sakola Istri yang kelak berubah nama menjadi Sakola Kautamaan Istri, dan sekarang menjadi Sekolah Dewi Sartika.Â
Sekolah ini adalah sekolah pertama se Hindia- Belanda dengan tiga pengajar yang salah satunya ialah Raden Dewi Sartika. tidak luput dari peran penting pendidikan, Raden Dewi Sartika juga menerbitkan salah satu buku dalam karya bukunya berjudul "Boekoe Kaotamaan Istri". Dari pengalaman Raden Dewi Sartika tersebut, penyebab gender equality terhadap pandangan masyarakat yang timpang membuat perempuan dinomor dua kan, pandangan masyarakat yang melekat dan kemudian berubah menjadi budaya yang diwariskan secara turun temurun,hal ini menyebabkan adanya diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Menurut Nurhasan (2014), salah satu faktor terbentuknya kesetaraan gender berasal dari dalam diri seseorang seperti keyakinan dan perilaku yang berasal dari luar diri seseorang seperti kebudayaan,
Untuk mencapai kesetaraan gender, memiliki beberapa langkah langkah yang harus terpenuhi, seperti penerapan kebijakan yang melindungi hak-hak perempuan, menciptakan kesempatan kerja yang setara, dan membangun kesadaran tentang pentingnya kesetaraan gender, Dalam upaya ini, pendidikan juga berperan penting dalam mengubah pola pikir dan nilai-nilai yang berkaitan dengan gender.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H