Keduanya akan dibelai bersamaan agar penderita menganggap tangan karet itu miliknya. Untuk mengujinya tangan karet dipukul dengan palu, akhirnya orang tersebut kaget dan ketakutan. Ini disebabkan kemampuan otak menyesuaikan dengan rangsangan sensoris bagian tubuh yang hilang.
Faktor PNS (Sistem Saraf Tepi)
Faktor PNS berfokus kepada teori neuroma dan peran DRG (Dorsal Root Ganglion) atau serabut akar dorsal. DRG terbagi dua divisi yaitu divisi lateral yang terdiri dari akson atau serabut yang sebagian besar tidak bermielin (serabut C) yang membawa informasi sensorik nyeri dan suhu.Â
Lalu divisi medial terdiri dari akson atau serabut yang sebagian besar bermielin (serabut A) yang membawa informasi seperti sentuhan dan getaran dari kulit dan sendi.Â
Ketika amputasi, akan terjadi kerusakan pada saraf perifer dimana akson DRG akan terputus sehingga mengakibatkan terjadinya pertumbuhan abnormal pada ujung akson serabut C yang dinamakan dengan  neuroma. Neuroma meningkatkan aktivitas spontan terhadap stimulus mekanis dan kimiawi sehingga menyebabkan pelepasan ektopik yang memungkinkan terjadinya phantom limb pain.
Di beberapa kasus, phantom limb pain terjadi sebelum neuroma terbentuk. Sehingga disimpulkan bahwa terdapat sumber pelepasan ektopik lainnya yaitu bersumber dari DRG.Â
Ketika saraf perifer rusak, neuron di DRG meningkatkan sinyal nosiseptif (sinyal nyeri akibat dari cedera tersebut) juga penciptaan pelepasan ektopik. Nah, sinyal menyimpang yang dihasilkan tersebut dapat menyebabkan phantom limb pain. Lalu, bagaimana cara perawatan yang tepat?
Perawatan
Dalam bentuk farmakologis perwatan yang paling umum diberikan yaitu gabapentin dan pregabalin. Obat ini bekerja mengurangi rasa nyeri neuropatik. Lalu juga terdapat obat opioid dan opiat. Berdasarkan percobaan komparatif menunjukkan bahwa opioid dan opiat memiliki efektivitas yang lebih baik ketimbang gabapentin dan pregabalin akan tetapi memiliki efek samping yang lebih besar.
Selain perawatan farmakologis juga terdapat terapi yang dikembangkan untuk menangani fenomena ini, diantaranya yaitu terapi MT (Mirror Therapy) yang dianggap sebagai terapi paling murah dan efektif. Saat ini bentuk terapi MT yang dikembangkan adalah terapi cermin oleh Ramachandran dengan meletakkan cermin di depan bagian tubuh yang utuh.Â
Lalu menggerakkan bagian tubuh yang utuh dan membayangkan menggerakkan bagian yang hilang secara bersamaan, sehingga pasien menganggap visual tersebut adalah  bagian tubuhnya. Selain terapi MT terdapat terapi VR (Virtual Reality) dimana cara kerja dari keduanya sama-sama menggunakan umpan balik visual untuk merepresentasikan anggota tubuh yang hilang.Â