Mohon tunggu...
Muhamad Fhazal
Muhamad Fhazal Mohon Tunggu... Lainnya - Saya adalah mahasiswa

Saya adalah mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Healthy

KESADARAN VAKSINASI MASYARAKAT

21 November 2021   22:52 Diperbarui: 21 November 2021   23:03 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Wuhan, ibu kota Provinsi Hubei  China tengah, ialah provinsi ke 7 terbesar pada negara itu dengan populasi 11 juta orang. di awal Desember 2019 seorang pasien didiagnosis menderita pneumonia yang tidak biasa. Selanjutnya pada tanggal 31 Desember, kantor regional Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Beijing telah menerima pemberitahuan perihal sekelompok pasien dengan pneumonia yang tidak diketahui penyebabnya di kota yang sama.

            Para peneliti Institute of Virology di Wuhan telah melakukan analisis metagenomics guna mengidentifikasi virus corona baru sebagai etiologi potensial. Mereka menyebutnya novel coronavirus 2019 (nCoV-2019). Selanjutnya, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) menyebut virus corona menjadi 2019 novel coronavirus (2019-nCoV) dan  kini   penyakitnya populer menggunakan istilah coronavirus disease-19 (COVID-19).

            Proses penularan COVID-19 pada manusia harus diperantarai sang reservoir kunci yaitu alpha coronavirus serta betacoronavirus yang mempunyai kemampuan menginfeksi manusia. kontak yang erat dengan pasien terinfeksi COVID-19 akan mempermudah proses penularan COVID-19 antara manusia. Proses penularan COVID-19 disebabkan oleh pengeluaran droplet yang mengandung virus SARS-CoV-2 ke udara sang pasien terinfeksi di saat batuk ataupun bersin. Droplet di udara selanjutnya bisa terhirup oleh manusia lain di dekatnya yang tak terinfeksi COVID-19 melalui hidung ataupun mulut. Droplet selanjutnya masuk menembus paru-paru kemudian proses infeksi pada manusia yang sehat berlanjut (Shereen et al. 2020). Secara klinis, representasi adanya infeksi virus SARS-CoV-2 pada manusia dimulai saat adanya asimtomatik sampai pneumonia sangat berat, dengan sindrom akut pada gangguan pernapasan, syok septik serta kegagalan multi organ, yang berujung pada kematian (Kim et al. 2020).

            Seperti yang telah kita ketahui, perkembangan penyebaran COVID-19 terjadi begitu cepat. kasus pertama dan kedua COVID-19 diumumkan Pemerintah pusat pada tanggal 2 Maret 2020, selanjutnya kasus ketiga dan keempat diumumkan di tanggal 6 Maret 2020. Sementara, Keputusan Presiden (Keppres) No. 7/2020 perihal pembentukan Rapid-Response Team yang dipimpin oleh kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) baru dikeluarkan pada tanggal 13 Maret 2020, ketika jumlah pasien positif COVID-19 di Indonesia tercatat sudah berjumlah 69 orang.

            Kepala BNPB selanjutnya mengumumkan COVID-19 sebagai situasi darurat non-alam, pada hari yang sama ketika Menteri Perhubungan Budi Karya diumumkan terjangkit COVID-19 pada tanggal 14 Maret 2020, saat jumlah pasien positif COVID-19 di Indonesia tercatat sebesar 96 orang. Sehari berikutnya, Presiden serta seluruh anggota kabinet menjalani test, pada hari di mana jumlah pasien positif corona di Indonesia sudah bertambah menjadi 117 orang dan  kasus terus bertambah hingga saat ini, yaitu pada tanggal 6 November 2021 jumlah kasus Positif COVID- 19 mencapai  4.247.721 orang serta dinyatakan sembuh 4.093.208 orang dengan korban meninggal dunia 143.534 jiwa.

            Pandemi COVID-19 diperkirakan akan terus mengakibatkan beban morbiditas serta mortalitas yang sangat besar  dan juga sangat mengganggu masyarakat serta ekonomi di seluruh dunia. Pemerintah wajib  siap untuk memastikan akses dan  distribusi vaksin COVID-19 pada skala besar  serta adil, dan juga waktu vaksin yang aman serta efektif tersedia (Makmun and Hazhiyah 2020). dibutuhkan kapasitas sistem kesehatan yang memadai, serta taktik untuk menaikkan kepercayaan  dan  penerimaan vaksin serta bagi mereka yang akan melaksanakan vaksinasi. di tahun 2015, Kelompok Penasehat Strategis Ahli Badan Kesehatan Dunia (WHO) tentang Imunisasi mendefinisikan efisiensi vaksin sebagai penundaan dalam penerimaan atau penolakan vaksinasi meskipun tersedia layanan vaksinasi bisa bervariasi dalam bentuk serta intensitas berdasarkan kapan serta dimana vaksin itu ada dan  vaksin apa yang digunakan (Luz, Brown, and Struchiner 2019).

            Banyak upaya penelitian difokuskan pada pengembangan vaksin yang efektif guna memerangi penyakit coronavirus 2019 (COVID-19). Akan tetapi, bagaimanapun Pengembangan vaksin itu sendiri tidak akan cukup mengingat jumlah orang yang perlu di vaksinasi agar kekebalan yang meluas. Dan terdapat pula masyarakat yang menyatakan keragu-raguan melakukan vaksin sedang meningkat, hal tersebut bervariasi di berbagai negara, serta dikaitkan dengan pandangan dunia conspiratorial (G. D. Salali and Uysal 2020).

            Keragu-raguan dan  kesalahan info vaksin menghadirkan kendala besar  untuk mencapai cakupan serta kekebalan komunitas. Studi tentang potensi penerimaan vaksin COVID-19 pada 13.426 orang yang dipilih secara acak di 19 negara, sebagian besar  dengan beban COVID-19 yang tinggi. dari jumlah tersebut, 71,5% menjawab bahwa mereka akan mengambil vaksin Bila terbukti aman serta efektif, dan  48,1% mengatakan bahwa mereka akan divaksinasi jika majikan mereka merekomendasikannya. Tetapi, bila diamati heterogenitas yang tinggi dalam tanggapan antar negara. Lebih lanjut, melaporkan kesediaan seseorang untuk menerima vaksinasi mungkin tidak selalu menjadi prediktor yang baik untuk diterima, karena keputusan vaksin bersifat multifaktorial dan  dapat berubah seiring waktu. Kesediaan yang jauh dari universal untuk menerima vaksin COVID-19 menjadi perhatian. Negara-negara dengan penerimaan melebihi 80% cenderung adalah negara-negara Asia dengan kepercayaan  yang kuat pada pemerintah pusat seperti (Cina, Korea Selatan dan  Singapura). Kecenderungan yang cukup tinggi terhadap penerimaan pada negara-negara berpenghasilan menengah, seperti Brazil, India dan  Afrika Selatan, juga diamati. Kecuali dan  sampai asal mula variasi yang luas dalam kesediaan untuk menerima vaksin COVID-19 dipahami serta ditangani dengan lebih baik, disparitas cakupan vaksin antar negara berpotensi dapat menunda kendali global atas pandemi dan  pemulihan sosial serta ekonomi selanjutnya (Généreux et al. 2020).

            Pemerintah, tim kesehatan masyarakat dan  kelompok advokasi wajib  siap dalam mengatasi keraguan serta menciptakan literasi vaksin sehingga masyarakat akan menerima imunisasi di waktu yang sempurna. Aktivis anti-vaksinasi telah berkampanye pada banyak negara menentang kebutuhan akan vaksin, dengan beberapa menyangkal keberadaan COVID-19 sama sekali (Lushington 2020). Penyebaran informasi yang keliru melalui aneka macam saluran akan berdampak besar  pada penerimaan vaksin COVID-19 (Lushington 2020). Percepatan pengembangan vaksin semakin mempertinggi kecemasan publik serta dapat menghambat penerimaan masyarakat. Pemerintah dan  masyarakat wajib  mengukur taraf kesediaan saat ini untuk mendapatkan vaksin COVID-19 yang berpotensi aman serta efektif dan  mengidentifikasi korelasi keraguan dan  / atau penerimaan vaksin (Fadda, Albanese, and Suggs 2020).

            Mendengar perihal vaksin COVID-19 berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, ITAGI, UNICEF, dan  WHO sekitar 74% responden mengaku sedikit banyak memahami planning Pemerintah untuk melaksanakan vaksinasi COVID-19  secara  nasional.  Persentasenya  bervariasi antar provinsi. kurang lebih 61% responden di Aceh menjawab  tahu  planning  Pemerintah  terkait  distribusi  vaksin COVID-19; sedangkan di beberapa provinsi pada Sumatera,  Sulawesi,  dan   Kepulauan  Nusa  Tenggara  ada  65-70%  responden  yang  mengetahui  info  tersebut. Jumlah responden di provinsi Jawa, Maluku, Kalimantan,  Papua,  serta  sejumlah  provinsi  lain  yang  mengetahui info terkait vaksin COVID-19 lebih tinggi, yaitu kurang lebih 70%. Survei ini tidak mengungkap faktor-faktor  adanya  variasi  serta  penelitian  lanjutan  dibutuhkan  untuk  mengetahui  faktor-faktor tersebut.

            Responden yang pernah mendengar vaksin COVID-19 berdasarkan status ekonominya, responden dengan penghasilan rendah tingkat pengetahuannya terkait vaksin paling rendah. tingkat pengetahuan perihal info tersebut cenderung naik sesuai dengan tingkatan status ekonomi responden. Mungkin lebih disebabkan karena tingginya akses informasi yang  dimiliki  responden  dengan  status  ekonomi  tinggi.  Meskipun  demikian,  ada  sedikit  disparitas  antara  pengetahuan  responden laki-laki dan   perempuan    mengenai  adanya  vaksin COVID-19 dan  planning pendistribusiannya oleh Pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun