***
Tak semalang ini keadaanku yang dulu pernah kuramal dalam munajat dan doa di pertiga malam. Ringan betul keputusan yang kau buatkan untukku, terus kau kalungkan di antara derai isak tangisku, tidakkah kau coba pahami peristiwa-peristiwa pahit yang dulu aku alami demi mempertahankanmu. Terpaksa kusampaikan peristiwa satu tahun silam tentang seorang laki-laki datang melamar. Pamanku pulang dari Singapura setelah menamatkan studinya, dia punya kenalan seorang laki-laki, tiga tahun lebih tua dariku. Saat itu aku tidak pernah mengungkapkan kedekatan kita kepada orangtua, karena memang merasa tidak ada yang salah dengan hubungan kita dan beranggapan orangtua setuju-setuju saja dengan hubungan kita saat itu. Paman yang tidak menahu dengan hubungan kita ingin memperkenalkan aku dengan kenalannya, lewat ayah disampaikan dan ayah menyampaikan kepadaku. Saat itulah perjuangan aku sebagai perempuan dimulai dalam mempertahankan rasa kepadamu. Berbulan-bulan aku harus kerja keras menguras pikir dan taktik bagaimana hubungan kita tetap di jalan yang sama, dengan kata lain aku katakan “aku tetap setia”.
Itulah awal terbongkar hubungan kita kepada orangtuaku, aku berjuang mati-matian bahkan sempat bicara di depan ayah berurai air mata bahwa pilihanku yaitu kamu adalah yang terbaik.
“...Hana? coba engkau berpikir nak! Setahun lagi kuliahmu tamat...” ayah membujuk aku agar bisa menerima usulan paman dengan laki-laki itu.
“...Ayah? sebenarnya Hana sudah punya pilihan hati sendiri yah...” begitu polos aku sampaikan kepada ayah, mungkin beliau tidak begitu memahami rasa kita atau setidaknya rasa suka duka kita yang dianyam bersama dalam dentuman waktu yang kerapkali mencobai kesetiaan di setiap waktu.
“...Ayah ngerti Hana, tapi laki-laki yang dikenalkan Paman mu ini, dia itu sudah mapan, udah kerja...” ayah meneruskan bujukannya tanpa memperdulikan kata-kataku barusan yaitu “pilihan hati”. Sempat aku terdiam beberapa saat, aku hanya membayangkan bagaimana sedihnya hatimu saat itu andai aku terima lamarannya, aku tidak bisa mencabut ketetapanku untuk menyetiamu Zain!, hanya karena kehadiran seseorang yang baru dalam hidupku. Sebenarnya laki-laki itu secara sepintas tidak ada kekurangan, dia taat beribadah, mapan, dari keluarga terhormat dan sempat dia datang ke rumah berkomunikasi dan sebenarnya aku tidak bisa mencari celah untuk menolak lamarannya. Hanya “kamu” alasan jitu bagiku untuk tidak menerima lamarannya, hanya itu tidak lebih dan tidak kurang. Aku adalah seorang perempuan tertakdir untuk menyetiaimu. Materi, mapan, kerja, kaya bukan azimat yang mumpuni bagi laki-laki lain menggodai pendirianku terhadapmu, bagaimanapun aku mengikat erat janji yang kita buhul. Sederhana kalimatku, andailah saat itu baru sama-sama hadir dua laki-laki yaitu kamu dan dia pilihan pamanku, maka aku akan memilih pilihan pamanku, itu andai kau dan dia sama-sama hadir dalam kedidupanku, tapi saat itu kau duluan hadir mengisi ruang kecil dalam sukma, kupertahankan, apakah itu salah atau menyalahi? Kau bayar peristiwa itu dengan ucapan ringan lewat telpon yang intinya, janji kita menikah seusai kuliah kau buyarkan di antara gelombang suara memarau di ubun rasaku.
***
Zain! Kau telah berani melayarkan perahu kertas dengan membujuk dermaga agar mengizinkan kau nakhodai. Setelah ratusan gelombang dan riak kau jumpai, hanya seutas kabut tipis menghalangi pandang diujung pulau yang kau citakan, kau hentikan kayuh dayung. Sementara perahu itu semakin basah dan melemah, sesal-sesal jalan perahu itu telah mengutuki laut yang melayarkannya, menyumpahi dermaga yang melepasnya. Kau begitu indah melenggang di bibir pantai melambaikan tangan pertanda memulai perahu kertas akan tenggelam. Aku malu sama orangtua yang dulu aku belain dirimu di hadapannya, umurku semakin memanjang, hanya jangkrik yang tak merubah nyanyiannya menyambung tangisan kecilku dari bilik ini. Hebat kau telah mengantarkan di penghujung harapanku dalam kesendirian, kesepian, kesunyian. Bukan tidak mau memulai, tapi bayang tusukan perlakuanmu menabiri pandangan akan dunia dan segala asa. Kembali izinkan aku ulang pertanyaan apakah ini “Penakdiran atau pengakhiran?”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H