"Apabila wanita mengandung, maka malaikat memohonkan ampunan baginya, dan Allah menetapkan baginya setiap hari seribu kebaikan serta melebur seribu kejelekan", begitulah pesan Nabi Muhammad SAW kepada putrinya, Fatimah Az-Zahrah. Begitu mulianya hati seorang ibu, sehingga ia tidak pernah mengharapkan terima kasih, sekalipun itu adalah kejutan termanis yang bisa kita berikan terhadapnya. Ibu adalah sosok pejuang tanpa tanda jasa. Dari rahimnya, lahirlah peradaban bangsa.
Arah Pendidikan Anak Bangsa
Pada konsideran "menimbang" UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan makna filosofis seorang anak bagi bangsa Indonesia yaitu amanah dan merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.Â
Dengan kata lain, martabat bangsa Indonesia begitu ditentukan dari bagaimana keutuhan martabat anak-anak bangsa Indonesia itu sendiri. Dalam artian, potensi yang ada di dalam diri seorang anak harus dijaga sedemikian rupa agar bisa berkembang secara baik dan optimal, baik fisik, sosial maupun psikologi.
Perlindungan terhadap anak ditujukan untuk menjamin kesejahteraan anak termasuk masa depannya. Kesejahteraan yang dimaksud akan dapat diwujudkan jika hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang ditemani dengan pendidikan yang benar. Dengan pendidikan yang benar, maka anak tidaklah akan dengan mudah untuk melakukan kejahatan sebagaimana seringkali diberitakan akhir-akhir ini.
Pendidikan yang benar, tidaklah hanya ditujukan pada pembentukan generasi bangsa yang cerdas semata, tapi pula untuk membentuk generasi manusia Indonesia seutuhnya.Â
Manusia Indonesia seutuhnya terletak pada manusia yang beragama, berkarater ke-Indonesiaan, cerdas dan mencintai bangsanya. Bila pendidikan bernuansakan itu bisa diwujudkan, maka jauhlah manusia-manusia Indonesia itu dari tabiat korup, menjual bangsa dan kebangsaannya, bergaya hidup bebas ala kebarat-baratan, saling menghina dan memfitnah satu sama lain, serta bodoh dan membodohi sesama saudaranya sebangsa dan setanah air.
Jika pendidikan hanya memfokuskan pada ilmu semata, maka seperti ungkapan Albert Einstein (1938): "Dalam peperangan, ilmu menyebabkan kita saling meracun dan saling menjagal. Dalam perdamaian dia membuat hidup kita dikejar waktu dan penuh tak tentu. Ilmu yang seharusnya membebaskan kita dari pekerjaan yang melelahkan spiritual malah menjadikan manusia budak-budak mesin." Jadi, tidaklah cukup jika pendidikan hanya sekedar fokus pada pemberian ilmu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa semata, tapi juga bagaimana agar selain cerdas, dapat juga tercipta manusia-manusia yang bermoral.Â
Dalam bahasa Imam Syafi'i, pendidikan itu memiliki dua sisi yang saling melengkapi satu sama lain, yaitu ilmu dan taqwa. Tanpa keduanya, maka nilai seseorang menjadi tidak ada artinya. Penyandingan atas ilmu dan taqwa inilah yang semestinya dijadikan ruh dalam pembentukan regenerasi manusia Indonesia seutuhnya.
Ibu dan Pendidikan Anak Bangsa
"Jatuhnya buah, tidak akan jauh dari pohonnya". Jika kita hubungkan pepatah tersebut dengan anak dan orang tua, maka kita akan mendapatkan sebuah cermin kepribadian yang menggambarkan pola kesamaan karakter anak dengan orang tuanya. Benarkah demikian?