Jika kemampuan dan kewenangan lembaga/institusional saja terbatas untuk mampu memberikan akses keadilan, lalu bagaimana warga berharap soal subtansinya. Kalau saja Pemerintah Indonesia komitmen soal akses Keadilan, seharusnya ruang-ruang mekanisme sebagai garda perlindungan dan jaminan untuk dibuka selebar-lebarnya. Karena pada prinsipnya, di negara demokratis jaminan akses keadilan menjadi persoalan yang fundamental. Karena dengan akses keadilan yang terbuka, maka warga dapat menggunakan hak-haknya untuk mendapatkan keadilan, baik melalui lembaga formal maupun non formal.
Sangat wajar, sebagian masyarakar skiptis jika persoalan dalam UU Cipta Kerja harus menempuh jalur judicial review di MK. Karena selain cacat prosedur dan subtansi hukum, tetapi ruang mekanisme peradilan yang amat gelap dan tidak bisa diprediksi (unpredictable). Terlebih materi muatanya yang berkaitan soal tafsir penyalagunaan kekuasaan, syarat berpotensi politis pembahasanya. Meski pada prinsipnya, mekanisme judicial review baik di Mahkamah Konstitusi menggunakan 'asas audi alteram et partem,' dimana semua pihak harus didengar dan diberikan akses yang sama. Namun pada prakteknya berbeda. UU Cipaker ini merubah banyak Undang-undang dan pasal.
Bisa dibayangkan jika seluruh/sebagian pasal UU Cipta Kerja di Uji Materikan ke Mahkamah Konstitusi, selain akan menghabiskan energi dan biaya, pasti tidak sedikit waktu membahas soal informasi  pasal kontroversial. Jika selama ini JR di MK membahas hanya beberapa atau sebagian pasal saja dalam UU dengan menggabungakan permohonan, lalu bagaimana jika kluster persoalanya sangat komplek? Mengingat permohonan JR di MK yang 1 pasal atau sebagian pasal pun membutuhkan waktu bertahun-tahun sampai dengan adanya putusan. Selain itu, komposisi jumlah hakim MK yang hanya diisi 9 orang, juga dirasa tidak cukup komprehensif membahas ribuan pasal yang akan diujikan. Maka akan banyak pemohon, ahli, saksi dan pihak terkait yang terlibat untuk mendalami persoalan mana saja yang dirasa inkonstitusional.
 Solusi Memecah Omnimbus Law
Jika negara tetap bersikekeh tidak akan membatalkan UU Ciptakerja, dan mempersilahkan kepada masyarakat untuk mengajukan keberatanya melalui mahkamah konsitusi. Jika demikian, bisa dipastikan memang negara tidak memiliki 'sense of crisis', disaat kondisi pandemi Covid-19 belum berakhir. Dampaknya adalah proses pemeriksaan perkara secara adil dan fair di MK akan mengalami hambatan dan kesulitan bagi semua pihak, karena ada aturan pembatasan protokol kesehatan. Oleh sebab itu, Â seharusnya negara merangkul para pihak dengan mendudukan persoalan sesuai keberimbangan dan keadilan. Â Meski prinsip 'asas audi alteram et partem, hanya dikenal di dalam MK, tetapi spirit para pihak perlu didengar dan dipertimbangkan penting dimanfaatkan oleh lembaga eksekutif, dalam hal ini presiden untuk membahas subtansi dan juga misinformasi persoalan dalam UU Cipta Kerja.
Selain solusi di atas,  Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi, penting kiranya mempertimbangkan opsi Perpu tentang pembatalan sementara atau sekaligus perubahan UU Cipta Kerja, sesuai kluster pasal-pasal yang dinilai bermasalah oleh Publik. Meski tidak mudah, tapi keputusan tersebut akan membuat legacy soal komitmen keberpihakan Presiden melindungi  masyarakat miskin, rentan dan marginal,  juga 260 juta warga Indonesia dari diskriminasi. Mengapa demikian, karena pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja syarat berpotensi terjadinya konsentrasi kekuasaan, sehingga memunculkan penyalahgunaan kekuasaan yang bersifat koruptif dan merusak (power tends  to corrupt, absolut power corrupt absolutely).***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H