c. Â Â Â terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;
d. Â Â Â terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan/atau
e. Â Â Â diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar-golongan, dan gender.
Lalu kemudian, ketentuan Pasal 250 di atas diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 250 Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas materi muatan peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan."
Dalam ayat tersebut tidak dijelaskan soal penjelasan rinci apa yang dimaksud materi muatan peraturan perundangan-undangan yang bertentangan dengan kepentingan Umum. Seperti materi muatan peraturan perundangan-undangan tidak boleh bertentangan prinsip non diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar-golongan, dan gender.
Pasal ini dirasa sangat penting, mengapa? Karena berdasarkan catatan Komnas Perempuan, setidaknya ditemukan 421 kebijakan diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok rentan di level nasional/daerah tahun 2018. Â Hal ini memperlihatkan, selain materi muatan dan asasnya bertentangan dengan prinsip non diskriminasi dan melanggar prinsip hak asasi manusia. Â Kebijakan diskriminatif tersebut juga menjad penghambat bagi upaya penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan pemenuhan hak asasi perempuan.
Jalan Terjal Judicial Review
Lalu bagaimana nasibnya jika warga negara mengeluhkan soal kebijakan yang dirasa bertentangan dengan prinsip non diskriminasi? Jawabanya jelas harus menggunakan mekanisme pengadilaan (judicial), entah itu melakukan uji materi (judicial review) di Mahkamah Konstitusi yang levelnya UU bertentangan dengan UUD 1945, atau melalui mekanisme Uji Materi di Mahkamah Agung, yang pertentanganya dibawah Undang-undang. Persoalannya adalah ongkos biaya pencari keadilan tidaklah murah dan prosesnya panjang. Mengingat pada saat yang sama, pasca dilakukanya revisi UU MK, soal ketentuan perubahan dalam UU yang telah diuji dan diputuskan oleh MK untuk ditindaklanjuti oleh DPR dan Presiden sudah dihapuskan (lihat pasal 59 UU MK).
Ditambah lagi, jika persoalnya di bawah undang-undang, mekanisme judicial review di Mahkamah Agung juga masih tertutup rapat untuk terlibat sebagai para pihak yang berkepentingan. Yang seharusnya bisa didengar dan digali argumentasinya sebelum hakim menjatuhkan putusan  (azas audi et alteran partem). Alhasil mekanisme komplain hak warga negara yang dilakukan secara konstitusional pun masih menjadi sisi gelap panjangnya hukum di Indonesia, karena kondisi di atas.
Sangat beralasan, jika kemudian banyak masyarakat menyuarakan pembatalan UU Cipta Kerja melalui aksi masa/unjuk rasa di hampir di seluruh wilayah Indonesia, karena selain soal subtansi bermasalah juga ditambah ada faktor lain (deterrent effect) yang turut serta membuat penolakan, karena harapan menggunakan mekanisme yang tersedia melalui judicial review sangat jauh dari prinsip akses keadilan.