Sejak pergulatan idelogi terhadap gerakan formalisasi ajaran agama menguak di 1670an, seoalah berdampak panjang bagi sejarah Bangsa Indonesia. Kala itu, pemerintah Belanda melaui VOC (Verenigde Oost Indiche Compagnie) mengeluarkan legislasi pertama tentang perkawinan dan kewarisan dalam Islam di terapkan di Pengadilan VOC di Indonesia kala itu. Pasca pembubaran VOC---terkait penerapan syariat Islam adalah merupakan dektrit kerajaan 1882 tentang pembentukan pengadilan agama di Jawa dan Madura (stattsblad 1882 No. 152), meskipun dektrit tersebut mengakui bahwa sebagian besar pribumi Indonesia tunduk kepada hukum adat yang dijalankan oleh pengadilan pribumi. Secara keseluruhan, kebijakan-kebijakan Belanda selama berkuasa telah menempatkan hukum Islam ketempat yang inferior (Taufik Adnan Amal dan Syamsu: 2004).
Terlebih ketika Cornelis Van Vallenhoven dan Cristian Snouck Hurgronje melalui teori receptie telah menempatkan posisi hukum islam terletak inferior di bawah hukum adat. Meskipun ditentang habis oleh Hazairin dengan receptie exit, dengan tujuan untuk mengembalikan kedudukan hukum islam sebagai mitra hukum adat. Sejak saat itu, gelombang angin segar menempatkan bahwa hukum islam (fiqh) bisa membentuk mazhab hukum nasional. Namun meski diera orde baru beberapa produk UU Peradilan Agama, Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dll sudah banyak dikeluarkan, pasca reformasi dengan keran otonomi daerah terbuka untuk membuat sebuah regulasi. Setiap daerah berbondong-bondong mengeluarkan kebijakan yang bernuansa formal-legalistik. Hingga pada akhirnya gelombang kebijakan bernuansa pembedaan berdasarkan latar belakang, agama, gender atau status sosial bermunculan hingga kini.
Kebijakan diskriminatif sebetulnya tidak serta merta menggunakan istilah 'perda bernuansa syariah', banyak juga yang berkaitan dengan pola kebijakan umum, pendidikan, ketertiban umum, ketertiban sosial, dan lainnya-- memuat persoalan moralitas yang diskriminatif seperti yang saya contohkan di atas.
Persoalan kebijakan diskriminatif yang bernuansa agamis memang bukanlah perkara mudah untuk dijelaskan ke publik. Sebagian masyarakat merasa regulasi yang dibuat legislator tak serta merta menjadi agamis manakalah reformulasi pembuatan regulasi tidak dilakukan secara formalistik-agamis, dengan kata lain harus tertuang secara legal-formal, bukan berdasar subtansi prinsip tujuan besar agama itu sendiri. Dampaknya adalah hal tersebut akan mendikotomi mana regulasi yang berbasis agama mana yang bukan (profan).
Yang menjadi fatal ketika UU Pendidikan, Kesehatan, Kesejahteraan Sosial, Adminduk, Pajak, Pidana, Perdata dan peraturan jenis lainya---tidak dipercai oleh sebagian publik karena alasan itu bukan produk langsung dari ajaran formal agama. Dampaknya adalah masyarakat akan skiptis terhadap peraturan tersebut, atau dengan kata lain sangat memungkinkan tidak akan mematuhi peraturan tersebut. Padahal sejatinya adalah regulasi bisa ditetapkan berdasarkan hasil kesepakatan bersama (baca: ijtihad jama'i).
Sebetulnya jika melihat secara yuridis, kebijakan pelarangan kebijakan diskriminatif sudah diatur di dalam UU No. 12 tahun 2011 menjelaskan asas peraturan perundang-undangan harus memuat prinsip perlakuan yang sama di mata hukum (equality before the law). Asas ini dimaknai sebagai asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial. Ditambah lagi dengan tugas Kemendagri selaku monitoring dalam pembuatan perda di tiap daerah sesuai UU. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Tetapi hal itu apakah berlaku dengan kebijakan yang notebene-nya juga bukan peraturan alias penetapan kepala daerah (beshiking) seperti surat edaran, surat keputusan, dll, hal itu justeru memunculkan problem baru. Seharusnya Kemendagri sebagai monitoring/evaluator dalam pembuatan kebijakan memastikan betul peranan daerah demi mewujudkan kepentingan umum nasional bangsa seperti yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005-2025. Baik pemerintah pusat/daerah maupun DPR/DPRD sudah seharusnya mempertimbangkan hal-hal subtansial bangsa, seperti fokus masalah kemiskinan, pemberdayaan, ekonomi, sosial, hukum, dan banyak lagi. Â
Betul apa yang dikatan Buya Syafi'i Maarif, persoalan mendasar Umat sebetulnya adalah bagaimana menghadapi keadaan yang carut marut karena ketimpangan ekonomi, pengangguran tinggi, pendidikan rendah (Syafii Anwar: 2005). Keadaan seperti inilah yang seharusnya dibaca cerdas oleh kita, khususnya para pemangku kebijakan, bukan memperkeruh suasana politik demi mendulang aras konstituen pemilih. Boleh jadi publik mulai susah mencermati persoalan bangsa karena para politisi asik dengan persoalan subordinasi formalistik namun minim subtansi. Ada benarnya apa yang dikatakan oleh Roger Simon dalam  Gramsci's Political Though, bahwa resistensi terjadi karena pengalaman sosial kelas subordinat tidak sesuai dengan ideologi dominan.' Entah resisten itu diciptakan ataukah permainan politisi, yang jelas ia tetap dikonsumsi dan dinikmati demi pemilu nanti. Terlepas siapa yang memainkan, seharusnya Grace Natalie juga tidak bertendesi terhadap isu-isu oposisi biner yang syarat resisten tinggi di masyarakat, karena faktor pengalaman positivisasi seharag hukum Islam syarat dengan pergolakan subordinasi.
*Salam pecinta kesederhanaan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H