Harusnya yang mengemuka mengenai persoalan komitmen partai politik terhadap ketidakadilan, diskriminasi, dan tindakan intoleransi di negeri ini, contohnya adalah komitmen partai melihat persoalan maraknya kebijakan diskriminasi di tiap daerah, seperti yang dikutip oleh Komnas Perempuan menemukan 421 kebijakan diskriminatif. Salah satunya contohnya Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Sekilas judul tersebut tidak mengandung diskrminasi apapun, tetapi, jika kita telusuri pasal perpasal kita akan menemukan pasal yang diskrminatif, seperti dalam Pasal 4 ayati (1):
Â
" Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, disudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat lain di Daerah." Pasal ini secara hukum menghilangkan syarat utama dalam penghukuman/pemidanaan, seperti tidak meletakan asas praduka tidak bersalah (presumption of innocent) dan perlakuan yang sama di mata hukum (equality before the law). Bagaimana mungkin perda bisa memuat hal menduga-duga, ini jelas mendiskriminasi dalam hal relasi gender, dimana dalam pandangan patriarki perempuan layak dicurigai sebagai pelacur jika ia berperilaku seperti yang dicurigai. Kata yang amat multi tafsir jelas mengandung menyalahkah korban "blaming victim".
Â
Contoh kebijakan diskriminatif lain juga kita bisa lihat dari Perbup Purwakarta No. 69 Tahun 2015 tentang Pendidikan Berkarakter, perda ini sebetulnya bertujuan untuk mengangkat harkar nilai-nilai kerarifan local di purwakarta, tetapi regulasi yang dituangkan malah justeru mendiskrimanasi nilai-nilai kearifan lokal, seperti di temukan dalam pasal 26, disebutkan bahwa: Persyaratan tambahan kenaikan kelas bagi Peserta Didik yang berdomisili di wilayah perdesaan ditentukan sebagai berikut:
a. bagi Peserta Didik laki-laki, diwajibkan : 1. memiliki pohon tanaman keras produktif paling sedikit 10 (sepuluh) pohon; 2. memiliki hewan ternak domba/kambing/ayam/ikan; dan 3. memiliki keterampilan bercocok tanam.
b. bagi Peserta Didik perempuan, diwajibkan : 1. memiliki keterampilan memasak; 2. memiliki keterampilan menenun; 3. memiliki keterampilan menyulam/merenda; dan/atau 4. memiliki keterampilan bercocok tanam.
Regulasi ini masyaratkan bahwa antara perempuan dan laki-laki masih melekat prinsip "non neutral gender " dan upaya maskulunisasi dan feminisisasi perlakuan bahwa perempuan memiliki karakter domistik atau pengepul (gatherer)Â dan laki-laki sebagai karakter pemburu (hunter).
Balik lagi pada persoalan kebijakan diskriminatif seperti dalam persoalan toleransi. Dalam hal ini Pemerintah daerah maupun pusat---seolah menutup mata rapat-rapat untuk menyelesaikan persoalan yang memang cukup resisten dikalangan masyarakat, seperti dalam kasus GKI Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia Bekasi---secara hukum dalam kasus tersebut sudah mendapatkan keputusan yang berkekuatan hukum tetap (inkrah) dari Mahkamah Agung sejak 2011, namun faktanya meski sudah sudah berkekuatan hukum tetap namun hingga kini kasus tersebut belum dilaksanakan oleh pemerintah setempat, pemerintah malah memilih jalur lain untuk menyelesaikan kasus tersebut. Disinilah letak komitmen para politisi harsunya diuji, sejauhmana memastikan persoalan diskriminasi yang mengemuka (ius constitutum) dan ataupun kebijakan yang akan ada (ius constituendum) menjadi fokus bersama dalam sebuah visi dan misi parpol.
Â
Tidak Mudah Menjelaskan ke Publik