Mohon tunggu...
Muhamad badarudin
Muhamad badarudin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hobi yg penting olahraga.cuakk

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hak Asasi Manusia

5 Oktober 2023   17:00 Diperbarui: 5 Oktober 2023   17:04 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)

Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap mempunyai hak-hak tersebut. 

Selain bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat di cabut. Artinya seburuk apapun perlakuan yang telah di alami oleh seseorang atau betapapun bengisnya perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu tetap memiliki hak-hak tersebut. Dengan kata lain, hak itu melekat pada dirinya sebagai mahluk insani.

Asal usul mengenai hak asasi manusia bersumber dari teori hak kodrati (natural right theory). Teori kodrati mengenai hak itu bermula dari teori hukum kodrati (natural law theory), terakhir ini dapat dirunut kembali sampai  jauh ke belakang hingga ke zaman kuno dengan filsafat stoika hingga ke zaman modern melalui tulisan-tulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas. 

Hugo de groot adalah seseorang ahli hukum Belanda yang di nobatkan sebagai "bapak hukum internasional", atau yang lebih di kenal dengan nama latinnya, Grotius, mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrati Aquinas dengan memutus asal-usulnya yang teistik dan membuatnya menjadi produk pemikiran sekuler yang rasional. Dengan landasan inilah kemudian, pada perkembangan selanjutnya, salah seorang kaum terpelajar pasca-Renaisans, John Locke, mengajukan pemikiran mengenai teori hak-hak kodrati. Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi munculnya revolusi hak dalam revolusi yang meletup di inggris, Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18.

Dalam bukunya yang telah menjadi klasik, "the second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleretion"  Locke mengajukan sebuah postulasi pemikiran bahwa semua individu di karuniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik suatu 'kontrak sosial', perlindungan atas hak yang tidak dapat di cabut ini diserahkan kepada negara. Tetapi menurut Locke, apabila penguasa negara mengabaikan kontrak sosial itu dengan melanggar hak-hak kodrati individu, maka rakyat di negara itu bebas menurunkan sang penguasa dan menggantikannya dengan suatu  pemerintah yang bersedia menghormati hak-hak tersebut. Melalui teori hak-hak kodrati tersebut, maka eksitensi hak-hak individu yang pra-positif mendapat pengakuan kuat.

Gagasan hak asasi manusia yang berbasis  pada pandangan hukum kodrati itu mendapat tantangan serius pada abad 19. Edmun Burke, orang Irlandia yang resah dengan revolusi perancis, adalah salah satu diantara penentang teori hak-hak kodrati. Burke menuduh para penyusun "Declartion of the Right of Men and of the Citizen", Mempropagandakan "rekaan yang menakutkan mengenai persamaan manusia". 

Deklarasi yang di hasilkan dari revolusi Perancis itu baginya merupakan "ide-ide yang tidak benar dan harapan-harapan yang sia-sia pada manusia yang telah di takdirkan menjalani hidup yang tidak jelas dengan susah payah", tetapi penentang teori hak kodrati yang paling terkenal adalah Jeremy Bathem, seorang filsuf utilitirian dari Inggris. Kritik Betham yang mendasar terhadap teori tersebut adalah bahwa teori hak-hak kodrati itu tidak dapat di konfirmasi dan diverifikasi kebenarannya. Bagaimana mungkin mengetahui dari mana asal hak-hak kodrati itu, apa sajakah hak itu dan apa isinya?

Betham dengan sinis menertawakan teori hak-hak kodrati itu dengan mengatakan "bagi saya, hak sebagai kata benda (berlawanan dengan kata sifat), adalah anak kandung hukum: dari hukum riil lahir pula hak-hak riil; namun dari hukum imajiner: hukum kodrati yang di khayal dan direka para penyair, ahli-ahli pidato dan saudagar dalam rupa racun moral dan intelektual lahirlah hak-hak rekaan... Hak kodrati adalah omong kosong yang dungu: hak yang kodrati dan tidak bisa di cabut adalah omong kosong yang retorik, atau puncak dari omong kosong yang berbahaya!". 

Lebih lanjut dalam sebuah risalah nya yang lain, Betham mengulang kembali cercaan sinisnya pada hak-hak kodrati. Ia menulis "Bagi saya hak dan hukum merupakan hal yang sama, karena saya tidak mengenal hak yang lain. Hak bagi saya adalah anak kandung dari hukum: dari berbagai fungsi hukum lahirlah beragam jenis hak. Hak kodrati adalah seorang anak yang tidak pernah punya seorang ayah". Serangan dan penolakan kalangan utilitarian itu kemudian di perkuat oleh madzhab positivisme, yang di kembangkan belakangan dengan lebih sistematis oleh John Austin. Kaum positivis berpendapat dan eksitensi dan isi hak hanya di turunkan dari hukum negara. Satu-satunya hukum yang sahih adalah perintah dari yang berdaulat. Ia tidak datang dari "alam" atau "moral".

Namun demikian, kecaman dan penolakan dari kalangan utilitarian dan positivis tersebut tidak membuat teori hak-hak kodrati di lupakan orang. Jauh dari anggapan Betham, hak-hak kodrati tidak kehilangan pamornya, ia malah tampil kembali pada masa akhir perang dunia II. Gerakan untuk menghidupkan kembali teori hak kodrati inilah yang mengilhami kemunculan gagasan hak asasi manusia di panggung internasional. Pengalaman buruk dunia internasional dengan peristiwa Holocaust Nazi, membuat dunia berpaling kembali pada gagasan John Locke tentang hak-hak kodrati. "Setelah kebiadaban luar biasa terjadi menjelang maupun selama perang dunia II, gerakan untuk menghidupkan kembali hak kodrati menghasilkan di rancang nya instrumen internasional mengenai hak asasi manusia,"tulis Davidson. Hal ini di mungkinkan dengan terbentuknya perserikatan bangsa-bangsa (PBB) pada 1945, segera setelah berakhirnya perang yang mengorbankan banyak jiwa umat manusia itu. Dengan mendirikan PBB, masyarakat internasional tidak ingin mengulang terjadinya kembali Holocaust di masa depan, dan karena itu "megaskan kembali kepercayaan terhadap hak asasi manusia, terhadap kesetaraan hak laki-laki dan perempuan, dan kesetaraan negara besar dan kecil". 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun