Suasana pagi itu di rumah Abi tampak berbeda. Akan ada ujian beasiswa di sekolah. Menurut penuturan kepala sekolah, siswa yang mendapatkan nilai terbaik akan dibiayai hingga menyelesaikan studi di Sekolah Menengah. Abi sudah bangun sebelum matahari terbit. ia harus membantu ibunya menyiapkan bekal yang akan dibawanya ke sekolah. Tentu bukan bekal yang ia makan, melainkan bekal yang harus ia jual. Semenjak ayah Abi meninggal ibunya lah yang menggantikan peran sebagai tulang punggung keluarga bagi keempat anaknya.
"Abi berangkat dulu ya, Bu," ujar Abi sambil memasukkan makanan yang sudah disiapkan ibunya ke dalam sebuah kantong.
"Hati-hati nak Jangan lupa Belajarlah dengan baik di sekolah". ibunya menyelami tangan Abi.
Sepanjang perjalanan ke sekolah, Abi berusaha mengingat-ingat materi yang diberikan oleh gurunya kemarin. Ia memang sudah belajar materi untuk ujian hari ini, tetapi ia masih kurang percaya diri. Hanya saat berangkat dan pulanglah Abi bisa fokus mengulang materi karena di rumahnya ia harus membantu ibu dan menjaga adik-adiknya. Ketika malam tiba, Abi seringkali merasa kelelahan.
Tak lama setelah Abi datang, bel masuk kelas berbunyi. Seorang pria tua masuk ke kelas dan menyapa siswa-siswinya.
"Selamat pagi anak-anak", ujarnya dengan suara parau. sepertinya beliau sudah seharusnya pensiun karena wajah lelah dan guratan keriput di wajahnya tidak bisa membohongi usia.
"Selamat pagi, Pak Hafidz," jawab murid-murid kompak.
"Hari ini bapak akan membagikan kertas ujian untuk seleksi beasiswa hingga Sekolah Menengah. Berusahalah sebaik mungkin tanpa mencontek. Usaha kalian yang maksimal dan jujur akan mendapatkan berkah," Pak Hafidz mulai membagikan soal, "satu lagi pendidikan bisa mengubah banyak hal. Mengubah nasib seseorang, meningkatkan derajat orang tua, dan membuat kalian semakin bijaksana. Namun, tidak ada gunanya nilai tinggi dan semua itu kalau tidak ada kejujuran dalam prosesnya".
Murid-murid saling berpandangan sebelum akhirnya fokus pada kertas di depannya. Para murid diberikan waktu selama satu jam untuk menyelesaikan 30 buah soal. Semua murid terlihat fokus meskipun ada satu-dua yang kebingungan. Abi sendiri nampak tenang sambil menjawab soal-soal. Tidak terbesit apapun di pikirannya untuk mencontek atau menanyakan jawaban pada temannya sekalipun ia merasa kesulitan. Ia yakin ibunya di rumah sedang mendoakannya agar lolos beasiswa dan berhasil mendapatkan kesempatan beasiswa.
"Kalau aku dapat beasiswa ini, aku tidak perlu menunda waktu studiku dan bisa membiayai sekolah adik-adik sambil berjualan" batin Abi.
"sambil menjawab soal, ia berharap bahwa jawaban yang ia tulis seluruhnya benar. Terbayang di benaknya jika ia berhasil dalam seleksi beasiswa, kehidupannya akan membaik.
Setelah satu jam berlalu, Pak Hafidz mengumpulkan lembar jawaban dari setiap siswa. Wajahnya terlihat serius, mencerminkan betapa pentingnya ujian ini bagi masa depan para siswa.
"Terima kasih atas usaha kalian. Kami akan segera mengevaluasi hasil ujian ini," ucap Pak Hafidz sambil mengumpulkan kertas ujian.
Saat Abi keluar dari ruang ujian, perasaan campur aduk menghampirinya. Ia merasa yakin dengan jawabannya, namun tetap saja ada kekhawatiran dan keraguan. Abi pun melangkah pulang dengan hati yang penuh harap.
Ketika tiba di rumah, Abi disambut oleh ibunya yang terlihat gelisah menunggu di depan pintu. Mata ibunya memancarkan kekhawatiran dan doa yang terus menerus diucapkannya.
"Bagaimana ujiannya, Nak?" tanya ibunya dengan penuh harap.
Abi mencoba tersenyum, "Aku sudah berusaha sebaik mungkin, Bu. Semoga hasilnya baik."
Ibunya memeluk Abi erat, "Doa ibu selalu menyertaimu, Nak. Apapun hasilnya, ibu tahu kau sudah berjuang keras."
Mereka berdua kemudian duduk bersama sambil menunggu hasil pengumuman. Waktu terasa berjalan lambat, dan ketegangan menyelimuti ruangan.
Hari demi hari berlalu, dan akhirnya tiba saatnya pengumuman beasiswa. Abi dan ibunya pergi ke sekolah dengan hati berdebar-debar. Mereka bergandengan tangan, saling memberi dukungan.
Pak Hafidz membuka amplop hasil ujian dan mulai membacakan nama-nama yang lolos seleksi. Ketegangan semakin terasa di udara.
"Dan siswa yang mendapatkan nilai tertinggi, dan berhak mendapatkan beasiswa hingga Sekolah Menengah adalah... Abi!"
Ibunya menangis bahagia, dan Abi tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Ia berhasil, mimpi untuk mendapatkan beasiswa dan meringankan beban ibunya menjadi kenyataan.
"Pergilah dan raihlah impianmu, Nak," ucap Pak Hafidz dengan senyuman bangga.
Abi bersyukur dan berjanji untuk terus belajar dengan giat. Beasiswa ini bukan hanya tentang mencapai impian pribadi, tetapi juga tentang memberikan harapan bagi keluarganya. Ia merasa optimis bahwa pendidikan akan membuka pintu masa depan yang lebih cerah baginya dan adik-adiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H