Menghapus Dikotomi Ilmu: Menyatukan Kembali Warisan Keilmuan Islam
Dalam dunia Islam kontemporer, masih terdapat segelintir orang yang memiliki pemikiran konservatif dan jumud, terutama dalam mendikotomi antara ilmu agama dengan ilmu umum seperti biologi, fisika, atau matematika. Mereka menganggap ilmu agama lebih mulia dan mendasar, sementara ilmu umum sering kali dipandang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan keimanan. Padahal, pemikiran seperti ini bertolak belakang dengan tradisi keilmuan Islam pada masa keemasan, ketika tokoh-tokoh besar Islam justru mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum.
Salah satu contoh nyata dari tokoh-tokoh besar Islam yang menolak dikotomi ilmu adalah Ibnu Sina. Sebagai seorang filsuf dan dokter, Ibnu Sina tidak hanya mempelajari teologi Islam tetapi juga menulis ensiklopedia medis monumental seperti Al-Qanun fi al-Tibb (Canon of Medicine). Karyanya menjadi rujukan utama di dunia medis, baik di dunia Islam maupun di Barat, selama berabad-abad. Ibnu Sina membuktikan bahwa ilmu kesehatan dan agama dapat saling melengkapi.
Selain Ibnu Sina, Al-Farabi adalah tokoh lain yang menunjukkan pentingnya integrasi ilmu. Ia dikenal sebagai "Guru Kedua" setelah Aristoteles dan telah menulis banyak karya yang membahas filsafat, logika, dan politik. Al-Farabi memandang bahwa memahami dunia fisik adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ilmu tidak sekadar alat, tetapi juga bentuk ibadah yang meningkatkan pemahaman akan ciptaan-Nya.
Ibnu Khaldun, sebagai pelopor sosiologi dan historiografi, juga menunjukkan pentingnya memahami masyarakat melalui ilmu-ilmu empiris. Dalam kitabnya, Muqaddimah, ia menekankan pentingnya analisis sejarah dan perilaku manusia untuk memahami pola-pola yang membentuk peradaban. Baginya, memahami dunia sosial tidak hanya relevan untuk kehidupan dunia, tetapi juga untuk memahami bagaimana Allah bekerja dalam sejarah umat manusia.
Namun, ironisnya, di era modern, banyak Muslim dari generasi X dan Z yang justru kurang menyadari nilai integrasi ilmu ini. Sebagian besar lebih memilih untuk memisahkan ilmu agama dari ilmu umum, dengan alasan bahwa ilmu umum tidak berkaitan langsung dengan keimanan. Paradigma ini menciptakan kesenjangan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan berkontribusi pada kemunduran umat Islam secara global.
Sejarah membuktikan bahwa kemajuan umat Islam pada masa Bani Abbasiyah terjadi karena keterbukaan terhadap semua jenis ilmu. Masa keemasan Islam menjadi saksi munculnya pusat-pusat keilmuan seperti Baitul Hikmah di Baghdad, di mana para cendekiawan Muslim menerjemahkan, mengembangkan, dan mengintegrasikan karya-karya filsuf Yunani, Persia, dan India dengan ajaran Islam. Ini menunjukkan bahwa keimanan tidak menghalangi, tetapi justru mendorong eksplorasi ilmiah.
Kemandekan berpikir dan sikap konservatif yang mengisolasi ilmu agama dari ilmu umum hanya akan memperburuk kemunduran umat Islam. Di era modern ini, umat Islam tidak hanya harus mengejar ketertinggalan teknologi, tetapi juga harus merevitalisasi cara berpikir mereka. Ketertinggalan ini dapat dilihat dari minimnya kontribusi umat Islam dalam inovasi ilmiah global, dibandingkan dengan kontribusi umat Islam pada masa keemasan dahulu.
Untuk membangun kesadaran ini, pendidikan Islam harus kembali menekankan integrasi ilmu. Pesantren, misalnya, dapat memperkenalkan kurikulum yang menggabungkan tafsir Al-Qur'an dengan sains modern. Misalnya, mengajarkan bagaimana ayat-ayat tentang alam semesta dapat dihubungkan dengan teori-teori astronomi, atau bagaimana konsep keadilan dalam Islam dapat diterapkan dalam studi hukum internasional.
Selain itu, tokoh-tokoh Muslim kontemporer perlu mengkampanyekan pentingnya literasi ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang. Ceramah agama harus mengedepankan fakta-fakta ilmiah yang relevan dengan ajaran Islam. Hal ini dapat membuka wawasan umat bahwa agama dan ilmu pengetahuan bukanlah dua entitas yang terpisah, melainkan saling melengkapi.
Generasi muda, khususnya generasi Z, juga harus diberdayakan melalui pendidikan berbasis teknologi. Mereka harus diajarkan bahwa mempelajari ilmu umum seperti teknologi informasi, bioteknologi, atau kecerdasan buatan adalah bagian dari jihad intelektual. Dengan cara ini, generasi Muslim masa depan dapat berkontribusi secara signifikan dalam memajukan umat.