Indonesia adalah bangsa besar yang berhasil memerdekakan diri dari penjajahan kolonial pada tahun 1945, namun pertanyaan mengenai "benarkah kita telah benar-benar merdeka?" masih sering terangkat dalam berbagai diskusi. Apakah bangsa ini sepenuhnya lepas dari cengkeraman penjajahan atau kini justru terjebak dalam bentuk penjajahan baru yang lebih halus (neo-kolonialisme)? Isu ini semakin relevan ketika Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa Istana Negara di Jakarta dan Bogor, yang dahulu dihuni oleh pemerintah kolonial Belanda, masih menyisakan "bau-bau kolonial".
Jokowi, dalam salah satu pernyataannya baru-baru ini, seolah menegaskan pentingnya membangun Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur untuk melepaskan diri dari simbol-simbol peninggalan kolonial. IKN diharapkan menjadi simbol baru kemandirian bangsa, lepas dari belenggu masa lalu yang sarat dengan penjajahan fisik. Namun, apakah dengan membangun IKN, Indonesia benar-benar lepas dari kolonialisme, atau justru terseret dalam pusaran neo-kolonialisme yang kini menyelimuti kebijakan ekonomi dan politik kita?
IKN: Simbol Kemerdekaan atau Kolonialisme Baru?
IKN sering dipromosikan sebagai langkah besar menuju lepasnya Indonesia dari belenggu kolonialisme, terutama terkait dengan simbol-simbol masa lalu di Jakarta dan Bogor. Namun, perlu dicermati lebih dalam apakah pembangunan IKN benar-benar mencerminkan cita-cita tersebut. Dalam realitasnya, IKN dibangun dengan model dan pola yang justru memperkuat struktur kekuasaan kapitalisme global, di mana investor asing memiliki hak dan kuasa yang besar dalam proyek tersebut. Peraturan-peraturan yang disahkan untuk mendukung IKN, seperti Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2023, tampaknya lebih menguntungkan kepentingan korporasi daripada rakyat setempat.
Misalnya, Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang diberikan kepada investor untuk menguasai lahan di sekitar IKN selama 90 hingga 190 tahun menunjukkan bahwa meskipun kita telah bebas dari penjajahan fisik, penjajahan ekonomi masih terus berlangsung. Dengan kata lain, proyek IKN yang diklaim sebagai simbol kemerdekaan dari kolonialisme tradisional justru berisiko memperkuat cengkeraman neo-kolonialisme---di mana penguasaan ekonomi dan politik berada di tangan elit global dan domestik, bukan rakyat.
Neo-Kolonialisme: Ancaman Tak Terlihat
Neo-kolonialisme adalah bentuk penjajahan yang lebih halus namun jauh lebih mematikan. Berbeda dengan kolonialisme klasik yang melibatkan penguasaan fisik oleh negara asing, neo-kolonialisme berlangsung melalui dominasi ekonomi, kebijakan, dan kontrol korporasi multinasional. Negara-negara pasca-kolonial seperti Indonesia sering kali terjebak dalam lingkaran setan utang, investasi asing, dan penguasaan sumber daya yang dieksploitasi untuk kepentingan segelintir elite global.
Apa yang terjadi di sekitar IKN mungkin adalah contoh nyata dari fenomena ini. Sementara rakyat sekitar berharap adanya pembangunan yang dapat meningkatkan taraf hidup, mereka justru berisiko terpinggirkan oleh proyek-proyek besar yang lebih mengutamakan kepentingan investor daripada rakyat setempat. Tanah mereka diambil, dan sumber daya alam dieksploitasi tanpa memperhitungkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan maupun kesejahteraan sosial.
Menuju Kemerdekaan Sejati
Merdeka dari kolonialisme bukan hanya soal membangun ibu kota baru atau menghilangkan simbol-simbol fisik dari masa penjajahan. Kemerdekaan sejati harus berarti kemandirian dalam pengelolaan sumber daya alam, kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat, dan penolakan terhadap dominasi asing dalam bentuk apapun, termasuk investasi yang merugikan. Indonesia harus waspada terhadap jebakan neo-kolonialisme yang bisa hadir melalui proyek-proyek infrastruktur besar, seperti IKN, yang di permukaan tampak menguntungkan, namun di baliknya menyimpan potensi bahaya penjajahan baru.
Penulis: [Muhamad Aji Nur Dzaki]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H