GROBOGAN, Werdoyo. Selama ini jika berbicara tentang dunia maritim pasti tidak jauh dari wilayah pantai, laut, atau daerah dengan wilayah perairan yang luas seperti daerah waduk resapan air, danau, atau rawa -- rawa. Ilmu kemaritiman dekat sekali dengan pembahasan pemanfaatan sumber daya alam di daerah laut, atau ilmu kelautan yang kental dengan nuansa kapal.
Namun bagaimana jika ilmu kemaritiman diterapkan di daerah tanpa wilayah perairan sama sekali. Di daerah yang lebih dikenal sebagai salah basis pertanian di Jawa Tengah. Apakah bisa?
Adalah Muhammad Julnanda Serpa, mahasiswa jurusan Teknik Perkapalan yang tergabung dalam TIM I KKN UNDIP yang memperkenalkan dunia maritim di desa Werdoyo, Kecamatan Godong, Kabupaten Grobogan. Grobogan sendiri jika dilihat secara geografis terhimpit diantara 8 kabupaten berbeda di semua sisinya. Kabupaten Ngawi (tenggara), Kabupaten Sragen (Selatan), Kabupaten Boyolali (Selatan), Kabupaten Semarang (Barat Daya), Kabupaten Demak (Barat), Kabupaten Kudus (Utara), Kabupaten Pati (Utara), dan Kabupaten Blora (Timur dan Timur Laut).
Karena terhimpit oleh kabupaten -- kabupaten tersebut, Grobogan hanya memiliki wilayah perairan yang terbagi dengan kabupaten Sragen dan Boyolali berupa waduk buatan yang dinamai Kedung Ombo sebagai PLTU terbesara di Jawa Tengah.
Lelaki yang akrab dengan sapaan Jul ini memperkenalkan dunia maritim tanpa adanya wilayah perairan kepada anak -- anak dan masyarakat desa werdoyo. Jul, menggunakan media bambu untuk membuat miniatur kapal sebagai representasi dari ilmu kemaritiman yang ia enyam selama 4 tahun di bangku perkuliahan.
Mulanya, mengapa Jul menggunakan media bambu sebagai alat pengenalan dunia maritim? bersamaan dengan TIM I KKN UNDIP untuk Desa Werdoyo, pasca survey dalam kurun waktu 10 hari ia menyadari bahwa pohon bambu di desa werdoyo ini memiliki potensi yang besar jika dimaksimalkan secara optimal. Mengingat bambu memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena dimanfaatkan sebagai bahan baku bangunan. Di daerah Grobogan sendiri, bambu dengan diameter 6 -7 cm dan panjang 7 - 8 meter dihargai Rp15.000,00. Berdasarkan pemikiran tersebut, Jul memiliki inisiatif untuk memanfaatkan bambu menjadi miniatur kapal.
Latar belakang pembuatan miniatur kapal yang lainnya adalah timbulnya kesadaran dari dalam dirinya bahwa Indonesia tidak bisa terus-terusan mengandalkan sektor agraris dan mengesampingkan sektor maritim yang memiliki potensi besar jika dioptimalkan dengan baik. Jul setuju dengan nawacita yang diusung oleh presiden Jokowi dengan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Melalui program pembuatan miniatur kapal layar ini, Jul berusaha mengenalkan kepada anak -- anak dan remaja desa Werdoyo tentang dunia kemaritiman serta kewirausahaan.
Mengapa anak -- anak? Jul melihat usia produktif tingkat pertama, yaitu usia 18 -- 23 tahun yang berada pada masa transisi dari remaja menuju dewasa di Desa Werdoyo, memiliki pengetahuan yang kurang tentang dunia maritim serta pemahaman tentang ilmu kewirausahaan. Padahal sebagai generasi yang lahir dan berkembang di era kemajuan teknologi, sebagai angkatan pertama Generasi Z mereka diidentikkan dekat dengan kewirausahaan, open minded terhadap isu - isu kekinian, dan lebih mudah dalam adaptasi.Â
Hal ini dijelaskan oleh Hellen Katharina dari Nielsen Indonesia. Dikutip dari laman tirto.id,Hellen menjelaskan bahwa  Generasi Z kelahiran 1995 - 2014 memiliki karakteristik sebagai generasi serba-bisa; lebih individual, lebih global, berpikiran lebih terbuka, lebih cepat terjun ke dunia kerja, lebih wirausahawan, dan tentu saja lebih ramah teknologi.
Namun mengapa kriteria diatas tidak berlaku bagi seluruh generasi Z ? karena usia 18 - 23 merupakan usia transisi dari generasi Z dimana masih bersinggungan dengan generasi Y. Usia tersebut sudah memasuki angkatan kerja. Faktor lain yang dominan adalah, lingkungan. Tidak semua generasi Z khususnya usia 18 - 23 tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang mendukung. Adanya perbedaan perseberan teknologi antara kota dan desa mempengaruhi bagaimana generasi Z tumbuh dan berkembang. Untuk generasi Z yang hidup di pedesaan, teknologi hanya terasa pada permukaan.
Ketidakmerataan persebaran teknologi ini juga mempengaruhi angkatan kerja usia muda di Desa Werdoyo dalam membentuk mindset. Pemuda lokal lebih tertarik untuk bekerja sebagai buruh migran atau bekerja proyek di kota - kota besar mengandalkan relasi , dibandingkan untuk mengambil manfaat dari kemajuan teknologi dan terjuan dalam wirausaha dengan mengandalkan potensi desa.Â