Mohon tunggu...
Muhamad Ahsan
Muhamad Ahsan Mohon Tunggu... profesional -

Perantau yang tidak pernah berhenti untuk belajar dan terus belajar karena masih GOBLOK...entah sampai kapan....ngajar dan aktif dikegiatan sosial

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Renungan di Akhir Ramadhan 2011

27 Agustus 2011   22:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:25 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Apa yang menarik selama kalian berinteraksi di lembaga ini?”. Itulah pertanyaan yang penulis lontarkan ketika berdiskusi dengan teman-teman mahasiswa pada kunjungan ketiga penulis dan sekaligus juga berpamitan pada manajemen Yayasan Dana Sosial Al-Falah Surabaya. Teman-teman mahasiswa saling berpandangan satu sama lain seolah ingin mengatakan ‘saya duluan’. Dari diskusi dan ‘berbagi’ yang ditemani Mas Ainur Rahim yang juga alumni IAIN Sunan Ampel sebagai manajer bidang dakwah  pada yayasan tersebut, penulis banyak mendapatkan pelajaran berharga. Sebagai lembaga yang bergerak dibidang sosial nama Al-Falah sudah sangat dikenal khususnya di kota Surabaya. Lembaga yang awalnya lahir dari masjid Al Falah di Jalan Darmo ini terus membesar dan berkembang. Penulis kali ini, tidak akan membahas bagaimana awal berdiri dan perkembangannya dari yayasan ini karena semua bisa dilihat di http://www.ydsf.org. Pelajaran berharga bagi penulis dan juga teman-teman mahasiswa adalah ‘profesionalisme’ yang mereka terapkan. Mas Ainur dalam kesempatan diskusi tersebut bercerita yang bermula dari adanya tanggapan teman mahasiswa bahwa bila mereka menjadi donatur mereka dapat mengakses program-program yang ditawarkan oleh lembaga YDSF tersebut. “Saya luruskan ya teman-teman, bila berniat menjadi donatur dan membantu sesama yah..berniatlah seperti itu jangan ditambahi embel-embel yang lainnya,” tutur mas Ainur (saya memanggilnya begitu). “Mengapa ? Karena kalian kan tahu sendiri kejadian kemarin itu, ada salah seorang donatur yang marah-marah karena merasa proposalnya ditolak dan mengancam akan memobilisasi para donatur lain yang ada di perumahan tempat mereka tinggal untuk berhenti jadi donatur,” mas Ainur melanjutkan. Teman-teman mahasiswa lantas mengiyakan dan saling menimpali tentang cerita yang disampaikan mas Ainur tersebut. Penulis menangkap bahwa ternyata masih ada oknum ‘aparat’ yang seperti itu. Rupanya aparat tersebut mewakili warga di perumahan tempat dia bermukim untuk mendapatkan bantuan pembangunan masjid di perumahan mereka. Setelah disurvei oleh tim dari lembaga, masjid yang sedang mereka bangun masuk dalam kategori ‘tidak layak’ mendapatkan bantuan dengan alasan bahwa lingkungan tempat mereka bermukim penduduknya masuk dalam kategori ‘mampu’. Sampai disini penulis menilai bahwa lembaga ini telah melaksanakan ‘skala prioritas’ dalam perspektif manajemen dan ‘manajemen by objective‘ tentunya. Inilah juga yang menurut penulis membuat para donatur yang rasionil dan bersih niatnya terus tumbuh (buletin no 280 jumlah donatur 220.078, no 281 jumlah donatur 220.478 dan no 282 jumlah donatur 220.753). Mas Ainur juga bercerita bahwa mereka selalu memperioritaskan ‘orang-orang yang berhak’ untuk mendapatkan bantuan dalam bentuk apapun. Ada hal menarik ketika dibulan Ramadhan kali ini, sewaktu mereka mendapatkan bantuan 1 (satu) ton kurma dari salah satu donatur didaerah wisata religi Ampel surabaya. Lembaga ini membagikannya kepelosok-pelosok desa terpencil. “SubhanalLah pak…ternyata masih ada orang desa itu yang melihat bentuk kurma itu saja baru pertama kali itu, apalagi merasakan rasanya,” mas Ainur menambahkan dengan wajah bahagia. Penulis yang menyimak dan mendengarkan dengan diam, menimpali “ndesooo banget ya kalau gitu”. Teman-teman mahasiwapun ‘gerrr’ mendengar komentar penulis. Penulis jadi berfikir, ternyata masih ada di pelosok Indonesia ini orang yang belum pernah melihat buah kurma dan merasakan rasanya. Lantas bagaimana dengan pola konsumsi kita yang terkadang tidak menghabiskan makanan di piring kita ketika bersantap atau bahkan mencela masakan yang telah dihidangkan dengan susah payah oleh orang-orang terdekat  kita hanya karena menurut selera lidah kita tidak cocok. Ya Allah ampunilah kami dan masukkanlah kami kedalam golongan orang-orang yang pandai bersyukur atas rahmat dan  ni’mat yang telah Engkau limpahkan kepada kami, amiinn. Lantas ada pertanyaan yang muncul di kepala penulis, apakah kita sudah menerapkan perspektif manajemen seperti yang telah diterapkan lembaga tersebut ? Wallahu ‘alam bishawab. *tulisan ini juga penulis muat di blog kampus iain Sunan Ampel Surabaya *image dari Mbah Google

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun