Mohon tunggu...
M Agung Laksono
M Agung Laksono Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa yang suka nulis, diskusi, pantai dan main instagram.

Sekretaris Bidang Media dan Propaganda DPP GMNI. Disc: Tulisan bersifat pribadi, kecuali ada keterangan dibagian bawah artikel.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Catatan Bulan Bung Karno: Relevansi Periode Investasi dalam Pembangunan Industri

27 Juni 2022   19:29 Diperbarui: 27 Juni 2022   19:39 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan Juni di Indonesia dikenal juga dengan Bulan Bung Karno, dimana pada bulan ini putra sang fajar itu mampu menggali Pancasila sebagai jawaban atas permintaan Ketua BPUPK tentang filosofi dasar Indonesia Merdeka atau biasa disebut Hari Lahir Pancasila, lalu, 6 Juni 1901 Bung Karno lahir, dan pada 21 Juni 1970 Bung Karno wafat, dan meninggalkan banyak gagasan dan pemikiran yang perlu di-aktualisasi kan pada saat ini termasuk gagasan pembangunan industri nasional, sebagai penemuan kembali formulasi paling tepat jalan (revolusi)  kita atau Bung Karno menyebutnya sebagai rediscovery of our Revolution.

Selama perjuangan nasional bangsa Indonesia, Bung Karno membaginya ke dalam tiga periodeisasi yakni, 1945-1950: periode physical revolution, 1950-1955: periode survival dan yang belum Bung Karno selesaikan sejak 1955 hingga sekarang adalah periode investment (investasi). 

Bagi penulis, tiga tahapan ini masih relevan dalam persoalan arah membangun bangsa, Bung Karno membagi periode investment pada tiga hal utama yakni, investasi keterampilan manusia (human skill investment), investasi material (material investment), dan investasi mental (mental investment). Dimana, tiga hal ini bagi Presiden Soekarno merupakan jalan menuju realisasi amanat penderitaan rakyat.

Dalan realisasi dari human skill investment saat itu Bung Karno menyediakan sekolah-sekolah teknik di seluruh Indonesia, dan memberangkat kan ribuan putra-putri Indonesia yang tergabung dalam Mahasiswa Ikatan Dinas (Mahid) untuk belajar di luar negeri, terutama ke Eropa Timur, atau mungkin saat ini semacam program LPDP. 

Atau dalam Pidato Berjudul Amalkan ilmu daripada kehidupan sehari-hari (The School of life) pada amanat Presiden Soekarno pada peringatan Hari Sardjanake-IV,30 September 1963 di Istana Olahraga Bung Karno, Jakarta bahwa Menurut Bung Karno, kita harus terus berupaya menyempurnakan pengetahuan yang telah kita peroleh agar pengabdian terhadap tanah air, bangsa, cita-cita Amanat Penderitaan Rakyat dapat berjalan dengan baik, Bung Karno juga mengutip pendapat Presiden Ho Chi Minh bahwa universitas sekedar memberi bahan, tetapi ilmu yang benar-benar ilmu adalah ilmu dari kehidupan kita sehari-hari (dedication of lifes) dengan memupuk modal materi, modal bahan, modal barang, dan terutama sekali, sebagai saya katakan tadi, modal uang, kapital nasional, yang akan dipupuk dari uang-bangsa Indonesia sendiri.

Lalu, dalam material investment sebagai pilar dalam pembangunan bangsa dan kemandirian industrialisasi serta pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), yang dipertegas dalam Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 Tahun 1960 Tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961 -- 1969, maka Bung Karno membangun pabrik baja, semen dan material dasar yang disebut induknya dari segala industri (mother of industry) seperti pabrik baja Trikora (kini dikenal dengan nama PT. Krakatau Steel), yang diharap akan membuka jalan bagi pembangunan industri otomotif, transporasi, pertahanan, telekomunikasi, dan lainnya, agar tak bergantung pada impor, bila material of investment dijalankan dengan baik dan efisien.

Lalu, dalam tahapan terakhir periode investment yakni, investment mental sebagai hal yang tak kalah penting dari tiga point diatas karena berkolerasi dengan Sumber Daya Manusia (SDM) oleh sebab itu Bung Karno menawarkan konsep nation and character building, bahkan dalam Buku Dibawah Bendera Revolusi Jilid II Bung Karno mengatakan,

"terutama sekali investment mental, menghendaki Jiwa Nasional yang suci-murni, "sepi hing pamrih ram hing gaw", -- Jiwa Nasional yang benar-benar Jiwa Proklamasi, jiwa Nasional yang laksana ndaru kataku tadi, Jiwa Nasional yang laksana jiwanya malaekat kataku tadi pula? Ya, buat kesekian kalinya saya katakan: boleh sekarang kita belum mempunyai alat-alat materiil secara lengkap, boleh sekarang kita belum memiliki tractor ketian atau laksaan, boleh sekarang kita belum memiliki baja atau semen, arang-batu seribu gunung, boleh sekarang kita belum mempunyai bahan-bahan kimia seribu gudang, ya, boleh sekarang kita belum memiliki satu gergaji dan satu martilpun, -- boleh sekarang kita belum beralat samasekali, laksana telanjang bulat hanya berdjari lima dan "akandang langit akemul mega", -- maka dengan jiwa malaekat Insya Allah kita tidak akan mati. Tetapi jika jiwa kita bukan jiwa yang benar-benar ingin membina satu Indonesia Baru, jika jiwa kita masih jiwa yang dihinggapi oleh penyakit-penyakit minder-waardigheidscomplex, jika jiwa kita masih jiwa yang berkarat dengan karatnya "Hollands denken", jika jiwa kita belum jiwa yang mengalami Mental Revolution yaitu Revolusi Batin, maka janganlah mempunyai harapan apa-apa mengenai hari-kemudian melainkan kebelakangan dan perbudakan."

Namun, salah satu persoalannya apakah semua paham dengan gagasan Bung Karno? Terutama dan yang utama soal material investment dalam indusuri hulu yakni, besi dan baja? Oleh sebab itu, penulis melalui tulisan ini hendak ingin kembali menyebarkan gagasan ini. Dan, hal yang paling relevan adalah dengan terus memberikan penyertaan modal negara (PMN) ketika BUMN melakukan aksi korporasi berupa right issue, sebagai upaya agar porsi saham Pemerintah tetap 80 persen, karena idealnya Negara yang kuat memiliki dan menguasai industri besi dan baja yang terintegrasi dan mandiri. Selain masuk dalam sektor strategis, ini merupakan amanat Negara melalui Pasal 5 ayat 2 dan 3 Tap MPRS Nomor II/MPRS/1960 yang berbunyi:

....(2) Cabang-cabang produksi yang vital untuk perkembangan perekonomian nasional dan menguasai hajat hidup rakyat banyak, dikuasai oleh Negara, jika perlu dimiliki oleh Negara.

(3) Untuk mengembangkan daya produksi guna kepentingan masyarakat dalam rangka ekonomi terpimpin, perlu diikutsertakan rakyat dalam pengerahan semua modal dan potensi (funds, and forces) dalam negeri....

Penulis pun melihat, saat ini pertumbuhan portofolio perusahaan di sektor industri besi dan baja milik negara tersebut terus membaik, dengan selalu membukukan laba bersih di setiap quartal, setelah melakukan transformasi pasca merugi selama 8 Tahun. Penulis berharap, perusahaan yang memiliki nilai sejarah yang dikenal sebagai Proyek Baja Trikora yang digagas Bung Karno Tahun 1960-an tersebut dapat membangun ekosistem industri nasional yang mandiri, kuat dan menguntungkan, dengan harapan menjadi mother of industry atau induknya segala di industri di Indonesia, dalam arti hal yang pokok dalam pembangunan Indonesia sebagai material of investment.

Penulis: Muhamad Agung Laksono, Pengurus DPP GMNI dan Lulusan Teknik Industri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun