Selain itu juga, aturan soal bukti tidak langsung masih sulit untuk diakui oleh Pengadilan di Indonesia, khususnya di KUHAP, berbeda dengan Negara Barat yang regulasi hukumnya sudah lebih maju. Padahal kasus perburuan rente semacam ini sering terjadi di Indonesia seperti, kasus Bawang Putih pada 2013, dalam hal ini KPPU memutuskan bahwa pemerintah, Menteri Perdagangan dan Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan telah melanggar pasal tentang persekongkolan untuk menghambat produksi dan pemasaran bawang putih, terlepas dari fakta bahwa mereka bertindak dalam kekuatan hukum mereka dan tidak melakukan kegiatan bisnis atau komersial.Â
Dimana, Kementerian Perdagangan menggunakan kebijaksanaannya untuk meringankan persyaratan izin impor dan kuota bagi 19 perusahaan yang dilaporkan mengimpor bawang putih ke Indonesia setelah kelangkaan bawang putih menyebabkan kenaikan harga yang signifikan di tingkat konsumen akhir.
Selain mendorong dilanjutkannya kasus ini, penulis juga memberikan beberapa rekomendasi hasil diskusi organisasi mahasiswa berupa policy paper yang dapat diunduh disini seperti pembatasan HGU untuk grup korporasi swasta, pungutan ekspor untuk peremajaan tanaman sawit milik rakyat dan lain sebagainnya.
SITUASI TERKINI
Setelah pelarangan ekspor CPO dan produk turunannya oleh Presiden Joko Widodo pada akhir April 2022 lalu, sebagaimana secara detail ada dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2022 Tentang Larangan Sementara Ekspor Crude Palm Oil, Refined, Bleached And Deodorized Palm Oil, Refined, Bleached And Deodorized Palm Olein, dan Used Cooking Oil perlu diapresiasi, sebagai kebijakan yang berani untuk menunjukkan kekuatan Pemerintah sebagai pemilik konsesi lahan yang dikelola korporasi sawit.Â
Meski, harga minyak goreng masih cukup mahal, dan kemudian hal ini dikritik oleh pengusaha, petani atau ekonom, dan anehnya membawa narasi menguntungkan Malaysia, padahal realitas tersebut sudah jauh-jauh hari bahkan mungkin Malaysia sedikit menguntungkan pengusaha atau petani sawit di Indonesia sebab ada multinasional corporate asal Negeri Jiran itu yang menguasi konsensi lahan sawit bahkan mungkin pabrik pengolahannya di Indonesia dan harga komoditas untuk sawit pun ditentukan di Malaysia melalui Bursa Malaysia Derivatives (BMD).
Oleh sebab itu, untuk menegaskan kedaulatan bangsa dan kemandirian Indonesia dalam industri sawit, selain memberikan masukan diatas seperti, mengusut tuntas dugaan oligosponi dan mencabut HGU dan Izin korporasi nakal, Presiden Jokowi pun harus meminta Kementerian terkait untuk membuka informasi terkait industri CPO dan produk turunannya melalui platform digital secara optimal seperti kebijakan Kemenperin dengan Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) Kemenperin dan kebijakan berbasis industri ini juga diperkuat dengan penggunaan teknologi informasi berupa SIMIRAH (Sistem Informasi Minyak Goreng Curah) dalam pengelolaan dan pengawasan produksi distribusi Minyak Goreng Curah belakangan ini.Â
Sebab, kebijakan informasi secara terbuka pun sejatinya sudah diterapkan Kemendag melalui platform Perizinan Ekspor Impor Melalui Sistem Indonesia National Single Window (SINSW), namun realitasnya masih ada kecurangan di Perizinan Ekspor CPO, bahkan beberapa hari belakangan TNI AL menemukan kapal berisi CPO yang diduga akan diselundupkan ke Luar Negeri.
Kemudian, setelah keterbukaan informasi Pemerintah pun harus membentuk seperti BMD yang sudah memiliki riwayat dalam perdagangan CPO sejak 1980, saat Malaysia masih menjadi Negara penghasil CPO terbesar. Keberadaan serta peran dari BMD menyebabkan harga CPO dunia salah satunya ditetapkan dan mengacu kepada mata uang ringgit Malaysia, begitu banyaknya perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia berasal dari Malaysia, berdasarkan data BPKM sejak 2015 hingga 2021, ditambah investor-investor perkebunan sawit asal Malaysia menghasilkan nilai investasi yang mencapai 9,5 miliar dolar AS. Selain, pasar berjangka/derivatif BMD Pasar CPO internasional saat ini masih mengacu pada pasar fisik di Rotterdam.
Bila, pasar CPO sudah terorganisir dan kuat, yang didukung perkebunan nasional dan swasta, pedagang, pengekspor, dan pemerintah Indonesia, maka idealnya bisa menjadi refrensi harga CPO internasional, sehingga lebih menguntungkan pengusaha dan petani sawit. Atau, mungkin ada kecenderungan pembiaran agar para petani tak memiliki akses untuk mengetahui harga komoditas di pasaran, agar harga komoditas selalu di bawah harga pasar?
Penulis : Muhamad Agung Laksono, Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia dan lulusan Teknik Industri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H