Selain itu, ditetapkannya Dirjen PLN Kemendag sebagai tersangka, merupakan bagian dari dampak ditengah arus kecenderungan atau dugaan pasar oligpolistik industri CPO dan produk turunannya seperti, minyak goreng.
 Sebab, dengan kenaikan harga CPO di pasar internasional, pengusaha atau korporasi swasta berlomba-lomba untuk melakukan ekspor, sementara untuk penjualan di Indonesia ada aturan Pemerintah melalui Kemendag memberlakukan DPO dan DMO sebesar 20 persen, sebelum korporasi melakukan ekspor.Â
Namun, kebijakan berubah ditengah pertengahan bulan Maret 2022 dimana Kemendag mencabut Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng serta DMO dan DPO untuk CPO dengan intensifikasi pungutan ekspor (PE) dan Bea Keluar (BK) bagi eksportir bahan baku, menjadi US$675 per ton dari sebelumnya yang hanya US$375 per ton.
Kedua cara diatas, bagi penulis amat jauh dari a share conception of justice Pemerintah dalam menjamin kebutuhan hajat hidup orang banyak, dengan tidak memenuhi angka konsumsi masyarakat untuk minyak goreng dan tentunya, logika bisnis di industri CPO yang cenderung oligpoli dari hulu hingga hilir.Â
Akibatnya, dalam skema pertama ketidakseimbangan antara supply and demand, yang kemudian terjadi kelangkaan minyak goreng di pasar. Dan sebagaimana yang diungkap Kejagung terjadi persekongkolan antara Kemendag dan korporasi swata untuk menghindari kebijakan DMO dan DPO, demi melakukan ekspor. Lalu, skema kedua lebih buruk lagi, dari pengamatan penulis kebijakan ini menghasikan kelangkaan minyak goreng curah di pasaran, sejalan dengan dicabutnya HET kemasan dan curah, menjadikan minyak goreng kemasan tersedia namun dengan harga yang sesuai pasar internasional yang tentu ada perbedaan daya beli masyarakat Indonesia dan Eropa Barat.Â
Sementara, minyak goreng curah yang disubsidi oleh Pemerintah melalui BPDKS seolah hilang di pasaraan, dan muncul minyak goreng kemasan dengan merk-merk baru, padahal Pemerintah menyiapkan dana Rp 7,2 Trilun untuk 1,2 juta liter minyak goreng selama 6 bulan ke depan, yang artinya dana tersebut berpotensi kembali lari ke beberapa perusahaan industri minyak goreng yang mungkin sebelumnya dikenakan Pungutan Ekspor CPO.
Penyerahan pada mekanisme pasar adalah bukti Pemerintah mengabaikan ekonomi yang berasaskan Pancasila terutama dalam cita-cita berdikari dalam ekonomi, dimana idealnya sektor kebutuhan dasar seperti kebutuhan pangan dijamin kepastian dan keberlanjutannya oleh Negara, bukan mengobral konsesi atau Hak Guna Usaha (HGU) kepada multinasional corporate, sehingga terjadi dominasi lahan perekebunan sawit oleh beberapa perusahaan swasta tanpa Negara bisa mengontrol jumlah lahan produktif, seperti data dari Publikasi Perkumpulan Transformasi Untuk Keadilan (TUK) Indonesia bahwa, 25 grup usaha besar menguasai 51 persen atau 5,1 persen juta hektar lahan kelapa sawit di Indonesia.
Lalu, temuan bahwa sebanyak 66 persen perusahaan minyak goreng yang terintegrasi dengan perkebunan CPO, menunjukkan pola pengelolaan industri minyak goreng sawit di Indonesia sangat cenderung memungkinkan terjadi pola oligosponi dan persaingan usaha yang kurang sehat, dan kebijakan DMO sangat sulit diterapkan, serta wacana subsidi untuk minyak goreng kolusi yakni, kemungkinan lebih banyak menguntungkan grup besar ini.Â
Bahkan, terbukti menimbulkan persekongkolan untuk otak-atik jumlah DMO, karena minimnya kesadaran pelaku industri CPO yang sedikit ini jumlahnya, namun menguasai mungkin 75 persen (18.268 ton TBS/jam) dari total kapasitas produksi pengolahan CPO (24.268 ton TBS/jam), untuk kepentingan rakyat secara umum.
TUNTASKAN DUGAAN KARTEL
Ditetapkannya Dirjen PLN Kemendag harusnya bukan akhir dari kasus ini, yang seolah dibuat hanya soal izin ekspor CPO dan pemecatan Mendag Lutfi bukan solusi yang dapat menyelesaikan kasus ini (membuat masyarakat senang dan menghilangkan struktur pasar yang buruk), namun Presiden harus mendorong KPPU serta Aparat Penegak Hukum untuk membuktikan hasil penyelidikan kasus ini yang cenderung oligosponi. Serta, bila terbukti ada persaingan usaha tidak sehat dan corporate crime idealnya Presiden Jokowi berani mencabut izin usaha korporasi swasta, sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang.Â
Sebab, kebijakan sementara seperti pelarangan ekspor hanya akan menimbulkan citra bahwa Pemerintah tidak berpihak pada wong cilik (petani sawit) yang pada faktanya hanya menguasai 40,34 persen lahan perkebunan sawit dan cenderung ketergantungan pada fasilitas pengolahan milik korporasi swasta. Buktinya, agat sulit melacak rantai pasok dari industri hulu ke hilir serta afiliasi kebun sawit dengan perusahaan pemilik fasilitas pengolahan atau refinery.