Ditengah ketenangan hari libur Idul Fitri dengan situasi maaf dan memaafkan, kita sedikit melupakan peristiwa ditetapkannya Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Dirjen PLN Kemendag) berinisial IWW sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO), beserta tiga orang dari korporasi swasta produsen CPO dan/atau Minyak Goreng semakin menunjukkan adanya gurita bisnis korporasi swasta dalam bisnis tersebut.Â
Dimana, Kejagung membeberkan ketiga tersangka tersebut, yakni Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia berinisial MPT, Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group (PHG) berinisial SMA, dan General Manager di PT Musim Mas berinisial PT. Dimana, ketiga perusahaan ini Pada 2016-2020 Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menggelontorkan Rp 18,58 triliun insentif biodiesel.
Ditengah narasi Indonesia sebagai penghasil sawit terbesar, Negara seolah kehilangan kedualatan dengan sisi lain produk turunan Kelapa Sawit yakni, Minyak Goreng sebagai consumers good, yang amat dibutuhkan oleh rakyat sehari-hari sempat mengalami kelangkaan dan saat ini masih terbilang mahal.Â
Sebab berdasarkan data yang penulis kutip dari Bidang Komoditi, Kritikal, Esensial Ekspor Kadin Indonesia, saat ini produksi minyak kelapa sawit nasional di hulu menurun, sementara konsumsi minyak goreng di hilir masyarakat meningkat. Berdasarkan data BPS, rata-rata mingguan konsumsi untuk minyak goreng nasional mencapai 0,23 liter per minggu.Â
Jumlah ini naik dari tahun 2018 sebanyak rata-rata 0,2 liter per minggu. Tentu, alokasi CPO untuk pangan tak hanya berkurang karena penurunan produksi, tapi juga disebabkan alokasi untuk bahan bakar dan yang mungkin amat menggoda korporasi swasta adalah tingginya harga CPO internasional.
KALAH SEJAK DI HULU
Dilain sisi, berdasarkan artikel yang sebelumnya telah saya terbitkan berjudul Analisis Dugaan Kartel Dalam Rantai Pasok Minyak Goreng bahwa, dugaan oligosponi/kartel oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sejalan dengan fakta-fakta adanya penguasaan korporasi swasta dalam industri CPO sejak dari hulu yakni, sekitar 55,8 persen perkebunan kelapa sawit dimiliki korporasi swasta.Â
Ditambah bila kita melihat angka kepemilikan group-group korporasi besar, serta bagaimana dominasi kepemilikan swasta di proses selanjutnya yakni, tandan buah sawit menjadi CPO/PKO, Refinery CPO hingga proses akhir menjadi produk turunan seperti Minyak Goreng. Artinya, Negara telah abai dan seolah kalah dalam persoalan kebutuhan dalam negeri khususnya untuk minyak goreng.Â
Padahal, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memperkirakan produksi CPO Indonesia mencapai 51 juta ton pada tahun 2022 ini, kemudian 35 persen dari produksi tersebut hanya 35 persen atau 18,4 million ton untuk kebutuhan dalam negeri, yang kemudian bila dirincikan 7,3 million Ton atau 14 persen untuk makanan dan industri lainnya termasuk minyak goreng, 9 million Ton atau 17 persen untuk bahan bakar atau lebih tepatnya Biodiesel, dan 2,1 million ton atau 4 persen untuk Oleochemical.
Uraian ini telah menunjukkan bahwa porsi olahan CPO dalam negeri lebih banyak diperuntukkan untuk bio-diesel, ketimbang keperluan consumer goods, dan diperkuat data Pada bulan November dan Desember, konsumsi CPO untuk pangan tercatat 667.000 ton dan 705.000 ton, serta untuk biodiesel tercatat 722.000 ton dan 781.000 ton.Â
Peningkatan Bio-Diesel ini cukup wajar mengingat adanya kebijakan mandatory bio-diesel oleh Pemerintah, yang besaran volume dan wilayah pasokan mengikuti aturan Keputusan Menteri ESDM Nomor 150/2021. Bahkan, saat ini program ini mendapat suntikan dana dari APBN khususnya anggaran PEN.