Mohon tunggu...
M Agung Laksono
M Agung Laksono Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa yang suka nulis, diskusi, pantai dan main instagram.

Sekretaris Bidang Media dan Propaganda DPP GMNI. Disc: Tulisan bersifat pribadi, kecuali ada keterangan dibagian bawah artikel.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jenderal, Itu Bukan Sembarang Baliho

16 Februari 2022   22:19 Diperbarui: 17 Februari 2022   10:27 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tribunpapuabarat

Sebagai warga Indonesia yang lahir di Banten, penulis agak terkejut saat beberapa hari lalu mengetahui KSAD Jendral Dudung Abdurachman ternyata warga Serdang, Kabupaten Serang Banten. Tentu, sebagai orang ber-ktp Banten penulis amat bangga, ternyata jenderal yang sering dapet nyinyiran Jenderal Baliho ini satu kampung halaman, di Banten.

Bagi penulis, julukan Jendral Baliho bukanlah sesuatu yang memalukan, justru penulis optimis bahwa beberapa tahun kedepan Jendral Dudung akan kembali menuliskan sejarah, bahwa begitu setianya warga Banten pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Sebagaimana sejarah nasional kita mencatat, ada empat tokoh pejuang dari Banten yakni Sultan Ageng Tirtayasa, Mr Syafrudin Prawiranegara, Brigjen KH Syam'un dan Raden Aria Wangsakara yang menjadi pahlawan nasional. Terbaru, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) pada Rabu 10 November 2021 menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada empat tokoh salahsatunya Raden Aria Wangsakara.

Komitmen dan kesetiaan warga Banten pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini tentu, memiliki latar belakang dan jejak historis panjang, bahkan sebelum Banten menjadi Provinsi. Terbukti, seperti kisah salah satu Pahlawan Nasional dari Banten dengan bukti akademis yang ada.

Dimana, saat awal kemerdekaan Republik Indonesia, di Banten berdiri lah Dewan Rakyat bernama Laskar Gulkut yang melakukan aksi teror. Gulkut bisa dikatakan persamaan kata dari 'gulung bukut', dimana mereka diisi oleh jawara dengan seragam hitam dengan lencana palu-arit di dada. Mereka juga menculik, bahkan membunuh siapa pun yang dianggap antek penjajah atau asing, seperti penculikan Bupati Hilman Jaya Diningrat. Bahkan, hal ini membuat Presiden dan Wakil Presiden, Sukarno dan Mohammad Hatta turun langsung ke Banten, pada 9 hingga 11 Desember 1945.

Menurut Cornell University Press, New York tulisan Audrey R Kahin, Mohammad Hatta berbicara bahwa pemerintahannya tak menghendaki "anarki" semacam itu. Saat itu tak seperti biasanya, Hatta berubah menjadi sosok yang tegas. Tak hanya itu, pada saat Soekarno tiba di Rangkasbitung pada 10 Desember 1945, Dewan Rakyat menculik bekas Bupati Lebak RT Hardiwinangun dan juga membunuhnya. Hal ini menyebabkan, konflik dengan Tentara tak dapat dihindarkan.

Menurut, Matia Madijah golongan kiri di Banten saat awal kemerdekaan Indonesia ingin bergerak merebut kekuasaan, TKR dibawah KH Syam'un dengan tegas mengambil tindakan menumpas gerakan Dewan Rakyat, sekalipun akibat tindakannya itu KH Syam'un bentrok dengan rekan seperjuangannya sendiri.

Namun, ia tak peduli, sebab menempatkan dirinya tidak di atas golongan ini atau golongan itu, melainkan di atas kepentingan nasional dan berjuang gigih mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan NKRI.

Dari cerita salah satu pahlawan nasional tersebut, bisa kita artikan bahwa segala bentuk gerakan ekstrimis yang menggerogoti bangunan kebhinekaan dan persatuan nasional harus dicegah. Sebab, sebagai negara yang memiliki keunikan dengan budaya dan bahasa paling beragam, hal ini harus dioptimalkan sebagai kekuatan, sebagai negara adidaya dalam kebudayaan. Jangan sampai gerakan ekstrimis ini menjadikan kebhinekaan bangsa, menjadi sebuah ancaman yang menggerogoti bangunan kebhinekaan, tempat kita bernaung bersama sembari mewujudkan mimpi bersama yakni, keadilan sosial.

Harus diakui Pilkada DKI Jakarta beberapa tahun yang lalu, sedikit merobek apa yang sudah dibangun oleh para pendiri bangsa. Cara-cara instan dan kotor seolah menggambarkan pikiran masyarakat awam seperti saya; politisi menjadi sekedar para binatang yang sedang berebut kuasa, bukan lagi untuk mencapai kebaikan bersama.

Tak perlu menjelaskan detail, Namun dosen sekaligus pengamat politik dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan Setara Institute Halili Hasan menilai, manuver Anies Baswedan saat Pilkada DKI Jakarta yang lalu adalah hal yang wajar. Demikian juga saat kubu Agus Harimurti Yudhoyono, paslon nomor 1, mengkonsolidasi kekuasaan Cikeas ke kubu Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebagai, bagian dari gerakan politik identitas berbasis agama untuk meraih suara elektoral.

"Jika dibaca lewat teori tindakan kolektif, salah satu kesulitan untuk menggerakkan orang pada satu tindakan yang sama itu karena heterogenitas kepentingan, nilai, dan kontribusi. Agama adalah instrumen yang bisa mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut. Anies sadar betul akan hal itu," kata Halili kepada wartawan Tirto.

Bukan Baliho Biasa

Kejadian sesudah Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama mengutip Surat Al-Maidah ayat 51 di Pulau Pramuka, membawa aksi besar-besaran sarang ormas yang kerap dicap ekstrim dalam hal ideologi transnasional seperti, aksi besar terakhir HTI adalah "aksi menolak pemimpin kafir" dalam Pilkada serentak 2017 pada 4 September 2016 di Patung Kuda, Jakarta. Ada 20 ribu kader HTI yang turun dalam aksi itu. Seruan HTI ini bersambut aksi-aksi jalanan lain berbumbu agama hingga Maret 2017.

Penulis menilai, Orde baru tak hanya merusak sistem ekonomi, pertanian dan industri nasional, bahkan sistem organisasi kemasyarakatan (ormas). Melalui buku Politik Jatah Preman karya Ian Douglas Wilson, Orde Baru mengubah paradigma ormas sebagai instrumen 'negara pertikaian', yakni negara yang memberlakukan kontrol efektif apa pun atas penduduk setempat dan sumber daya alamnya membutuhkan negoisasi terus-menerus, pembentukan dan pembubaran persekutuan, selain aksi pameran kekerasan yang secara buas bersifat pragmatis.

Dalam hal ini, penulis menilai langkah tepat diambil TNI dan Polri terutama Jenderal Dudung yang berani menindaklanjuti laporan masyarakat soal hal-hal yang menimbulkan keresahan, akibat ulah segelintir oknum ormas. Sudah seharusnya instrumen formal negara sesuai tugas pokok dan fungsinya menjadi pengaman, pengayom ataupun menjaga kedaulatan negara. Sebagaimana yang dicontohkan, Brigjen KH Syam'un.

Jangan sampai kemudian keamanan menjadi sebuah "komoditas", oknum misal tukang pukul yang berupaya untuk mengambil peran "pengamanan" bahkan membentuk 'hukum dan ketertiban' lokal, dengan berdasarkan patronase bersyarat. Atau, oknum ormas menggunakan stadion terbesar pertama di Indonesia untuk kampanye "ideologi transnasional", yang berpotensi merongrong rumah besar Kebangsaan kita.

Instrumen formal negara mungkin sudah seharusnya berani soal ide menjaga NKRI, sebuah ide yang sudah terikat begitu erat dalam kesatuan nasib (sama-sama dijajah) dan kesamaan cita-cita di masa yang akan mendatang (keadilan sosial), atau lebih dalam Indonesia juga terikat dalam komunitas imajiner atau komunitas yang dibangun secara sosial, yang dibayangkan oleh masyarakat dari Sabang sampai Merauke, sehingga para pendiri bangsa membuat lambang negara kita dengan begitu gagah yakni, burung Garuda yang membuka sayapnya dengan memegang erat-erat semboyan "Bhineka Tunggal Ika".

Penulis opini ini adalah seorang pengurus organisasi mahasiswa di Jakarta, yang berasal  dari Serang, Banten (Sekretaris Bidang Media dan Propaganda DPP GMNI)

Apabila ada kesalahan mohon dikoreksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun