Sebagai Pejuang Pemikir, GmnI mengandalkan pemikiran dan Ilmu Pengetahuan (The Power of Knowledge) sebagai senjata utamanya dalam mengawal Pancasila serta memperjuangkan selamat dan sejahteranya kaum Marhaen.
GmnI sebagai Pemikir-Pejuang, akan mengorientasikan seluruh pemikiran dan pengetahuan yang dikuasainya bagi selamatnya hidup kaum Marhaen.
Dalam setiap gerak juangnya, GmnI akan selalu mengaktualisasikan asas perjuangan Marhaenisme sejalan dengan perkembangan zaman dalam bentangan landscape politik aktual, sehingga ideologi marhaenisme tidak mengalami kelapukan.
PELUANG DAN TANTANGAN
Sebagai elemen muda nasionalis, visi Gmni sebagai patriot rasional yang mengandalkan kekuatan pengetahuan (The Power of Knowledge), telah sejalan dengan arah perkembangan zaman dimana di era revolusi industry 4.0 telah terjadi pergeseran sumber daya politik, dari The Power of Money yang bergeser menjadi The Power of Knowledge.
Sebagai elemen muda, GmnI berada dalam arus utama Bonus Demografi yang dialami bangsa Indonesia.
Dalam posisinya itu, dengan berbekal kekuatan pengetahuan Gmni menyadari dengan sepenuhnya gerak dialektika perubahan menuju zaman baru. Satu zaman yang diawali dengan pergeseran pusat pertumbuhan ekonomi dari Atlantik ke Pasifik, perkembangan teknologi yang bersifat eksponensial seiring laju revolusi industri 4.0 yang akan mengubah secara fundamental institusi-institusi mapan, tatanan sosial, pola hubungan antar manusia, bahkan cara berpikir masyarakat.
Maka, GmnI harus menempatkan diri sebagai garda depan dalam mempersiapkan bangsa Indonesia untuk mengarungi zaman baru. Adalah tugas maha berat dan besar, mengingat kondisi riil bangsa Indonesia saat ini. Bangsa yang nyaris robek-robek oleh politik identitas, korupsi dan perburuan rente merajalela, yang semuanya itu berlangsung dalam bingkai elektokrasi.
Elektokrasi yang merupakan bias demokrasi liberal yang diadopsi dari Barat yang hari ini di tempat kelahirannya sendiri sedang dalam proses declining. Dalam konteks elektokrasi, elite politik telah terjebak dalam pola pikir "dari Pemilu ke Pemilu". Pemilihan Umum (elektoral) yang sebenarnya hanyalah alat dan cara telah bergeser menjadi ideologi -- Electoralism.
Di lain sisi, pandemi Covid-19 yang bersifat global telah mengacaukan tatanan yang mapan yang selama ini menopang kehidupan manusia. Riuh globalisasi dan perdagangan bebas, yang selama ini memompa ekonomi dunia, seketika senyap. Rantai pasok global pun kacau, yang dapat mendisrupsi nafas kehidupan negara-bangsa.Â
Semua ini membuktikan, kapitalisme sebagai satu-satunya "formula ajaib" bagi masalah sosial dunia telah gagal melindungi kemanusiaan. Kerapuhan sistem dunia dalam menghadapi pandemi telah menunjukkan bahwa tidak semuanya dapat diselesaikan dengan kebebasan pasar.
Hal ini juga menunjukan, prinsip-prinsip sistem ekonomi global yang dianut selama ini serta menjadi ideologi dominan perlu ditinjau ulang dengan pikiran yang terbuka. Prinsip yang paling penting untuk ditinjau ulang adalah ideologi neoliberal. Fundamentalisme pasar bebas justru mengikis peluang dan potensi negara-bangsa untuk menyelesaikan masalahnya di masa pandemi, justru merusak perekonomian dunia, serta hanya memunculkan monopoli global baru.