Membuka diskusi tentang wacana kenaikan harga rokok memang tidak akan menemui titik kesimpulan. Bahkan meskipun kesimpulan dipaksakan, tetap akan menimbulkan pro dan kontra baik pada tataran masyarakat awam hingga para pengambil kebijakan. Tidak terkecuali juga stakeholders yang terkait dengan bisnis ini.
Jika kita mencermati kasus dari sudut pandang sebagai non-perokok atau orang yang tidak bersentuhan secara langsung dengan bisnis rokok, maka cenderung golongan ini akan setuju dengan wacana ini atau bahkan tidak jarang banyak yang tidak peduli. Saya ingin mempermudah kita semua dengan menyebut wacana kenaikan harga rokok ini sebagai satu ‘kasus’. Tetapi jika kita bawa perdebatan kasus ini ke ranah para pengambil kebijakan dengan stakeholders (mulai dari petani hingga produsen rokok), maka diskusinya akan berkepanjangan karena masing-masing pihak memiliki alasan dan tujuan dari setiap argumen.
Ambil contoh dari sisi pemerintah. Beberapa ahli menyebutkan bahwa tujuan pemerintah menaikkan bea cukai rokok adalah selain untuk menambah pendapatan Negara, pemerintah juga ingin menekan jumlah perokok aktif. Alasan lebih jauh adalah, pendapatan dari bea cukai akan dialihkan ke subsidi kesehatan. Seperti yang dikutip dari kompas.com, 23/8/2016, ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf mengatakan, pihaknya sepakat jika cukai rokok dinaikkan dengan syarat anggaran untuk kesehatan harus ditingkatkan. "Misalnya bangun rumah sakit, fasilitas kesehatan," ujar Dede di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (23/8/2016). Senada dengan hal itu, Ketua DPR RI Ade Komarudin juga sepakat jika pemerintah mengajukan kenaikan bea cukai rokok.
StakeholdersTerkait?
Saya juga ingin mengajak kita untuk menarik benang merah diskusi ini dari kaca mata para petani tembakau dan pabrik rokok. Logika sederhana yang bisa kita mainkan adalah teori harga dan permintaan. Bunyinya “jika harga barang/jasa meningkat, maka permintaan terhadap barang tersebut akan mengalami penurunan”. Ini memang hanya sebuah teori dengan banyak asumsi yang harus dipenuhi. Teori ini bisa saja benar atau juga sebaliknya. Tetapi saya tidak ingin membahas teori ini. Saya ingin focus untuk membuka ruang diskusi tentang bagaimana kemungkinan dampak yang akan diterima petani dan produsen.
Meski perlu pembuktian lebih lanjut, saya tetap ingin menggunakan teori di atas dikarenakan masih relevan dengan keadaan yang ada di Indonesia. “Ketika harga rokok naik, jumlah permintaan akan rokok menurun, jumlah perokok juga kemungkinan akan mengalami penurunan sehingga dikarenakan daya beli masyarakat terhadap rokok menurun, produsen akan membatasi jumlah produksi”. Secara teori, inilah yang akan terjadi.
Tetapi saya ingin kita membuka kemungkinan yang lain. Meskipun harga rokok dinaikkan, kita tetap asumsikan jumlah perokok tetap atau mungkin meningkat. Secara otomatis produsen tidak akan mengurangi jumlah produksi. Hal ini tentu akan meningkatkan pendapatan produsen rokok meskipun harus mengeluarkan bea cukai lebih kepada pemerintah. Lantas pertanyaannya, apakah produsen akan tetap menggunakan tembakau petani dalam negeri?
Saya ingin mengingatkan kita akan orientasi bisnis. Sampai kapanpun pebisnis tetap menginginkan keuntungan yang besar. Wacana impor tembakau murah dari China pun santer terdengar. Jika ini yang terjadi dan pemerintah menyerahkan urusan ini ke hukum pasar, maka tamatlah riwayat petani. Belum lagi ada kemungkinan munculnya rokok illegal sebagai dampak dari tingginya permintaan konsumsi rokok meskipun harga rokok meningkat.
Fokus ke Petani
Tetapi saya tidak ingin terlalu jauh berpikiran negatif kepada produsen rokok. Saya ingin kita menkaji lebih dalam tentang teori harga dan permintaan. Entah permintaan terhadap rokok akan menurun atau cenderung tetap atau bahkan meningkat. Saya sekali lagi ingin menggunakan teori yang sudah terbukti, yaitu jika harga rokok dinaikkan, maka permintaan akan rokok akan menurun. Implikasi ini akan berdampak pada petani tembakau karena kuantitas tanam tembakau akan dikurangi atau mungkin akan beralih untuk menanam komoditas yang lain. Hal ini cukup meresahkan petani di Indonesia, paling tidak seperti itulah yang terbaca dari Klaten. Dikutip dari kompas.com (24/8/2016) "Kenaikan harga rokok tidak dinikmati petani, tetapi malah merugikan petani," ujar Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Klaten Kadarwati di Klaten, Senin (22/8/2016). Lagi-lagi yang ditakutkan APTI adalah masalah daya beli masyarakat.
Keresahan petani ini memang sudah ditanggapi oleh pemerintah untuk mendorong komoditas lain sebagai prioritas produk pertanian. Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Barat misalkan, sudah sejak lama menggaungkan produksi Jagung sebagai alternative untuk mengganti tembakau. Tetapi memang kekhawatiran para petani tembakau terus terjadi. Ketika para petani tembakau mengikuti program pemerintah untuk menanam jagung. Sayangnya, keuntungan yang diperoleh petani dari hasil jagung sangat jauh di bawah pendapatan dari menjual tembakau.
Saya tidak sedang ingin memperdebatkan apakah tembakau akan membawa dampak positif atau sebaliknya kepada pihak yang terkait? Saya kira pembaca memiliki argumentasi dan keyakinan yang berlainan. Saya hanya ingin mengerucutkan pembahasan kita ke arah petani, secara khusus petani tembakau. Jika memang pemerintah serius ingin memberikan kesejahteraan petani, entah itu petani tembakau atau yang lainnya. Maka yang terpenting adalah bukan hanya fokus kepada pra produksi seperti pembibitan, alat produksi panen atau masalah pupuk. Pemerintah juga perlu untuk memperhatikan petani pasca panen. Dalam istilah ekonomi kita sebut market share-nya.
Ketika memang sebuah daerah memiliki komoditas unggul pertanian, maka intervensi pemerintah ketika pasar komoditas tersebut tidak berpihak kepada petani. Peran Bulog atau BUMN/BUMD terkait misalnya. Pemerintah seyogyanya menjadi mitra para petani dalam menjual hasil pertanian. Artinya pemerintah menjadi pembeli produk pertanian ketika kondisi pasar sedang terpuruk sehingga petani tidak khawatir tentang harga.
Tentunya pemerintah harus membeli dengan harga pasar atau mungkin lebih sehingga petani tidak mengalami kerugian. Ini juga sebagai salah satu solusi bagi pemerintah untuk swasembada hasil pertanian untuk kemudian dijadikan barang yang akan dijual ke daerah lain atau di ekspor ke Luar Negeri. Sehingga pada akhirnya nanti masing-masing pemerintah daerah akan menjadi penyedia hasil pertanian yang bagi daerah tersebut tidak bisa dipenuhi.
Muhamad Bai’ul Hak
Lombok, 26/08/2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H