Seorang pegawai KPK yang mengajar tentang Wawasan Kebangsaan dinyatakan tidak lulus dalam Tes wawasan kebangsaan (TWK). Giri Suprapdiono bersama 74 pegawai yang lain, terganjal menjadi ASN di KPK karena dinilai tidak memenui kriteria penilaian wawasan Kebangsaan. Polemik tentang TWK KPK beberapa hari terakhir ini telah bergulir, konon Presiden harus turun tangan untuk menjernihkan persoalan ini.
Wawasan kebangsaan saat ini menjadi prasyarat untuk penjaringan Aparatur negara. Argumentasinya sederhana: mereka bekerja untuk negara, maka mereka harus memiliki wawasan dan persepsi yang sama tentang kebangsaan. Yang menjadi persoalan kemudian, apakah indikator yang digunakan untuk menilai wawasan kebangsaan itu benar-benar mampu merepresentasikan seperangkat sistem nilai dan pengetahuan tentang wawasan kebangsaan tersebut? Pertanyaan tersebut saat ini menjadi bola liar, yang oleh beberapa pihak menuntut untuk di buka seara publik.
Berbicara tentang Wawasan kebangsaan, maka pencasila merupakan ideologi yang menjadi pusat sistem pengetahuan, falsafah yang menjadi induk paradigma kebangsaan kita. Pancasila sudah sekian lama disepakati menjadi nilai dasar kebangsaan, meskipun dalam perjalananya terdapat dinamika yang melingkupinya. Dengan kata lain, konten tentang pancasila barangkali memang tunggal: lima dasar yang huruf serta kalimatnya masih konsisten. Namun implementasi tafsir pancasila, sudah barang pasti sangat majmuk. Apalagi jika terhimpitan dengan relasi kuasa, maka pancasila bisa menjadi beberapa "entitas" yang berbeda.
Sebut saja klaim Pancasilais. Sudah berapa banyak pihal yang berseberangan dengan kekuasaan kemudian dilabeli dengan anti pancasila, kontra-revolusioner, tidak konsisten dan konsekuen bernegara, intoleran dan sebagainya. Manifestasinya, berapa banyak kelompok masyarakat yang harus "bubar" jika tidak berasas tunggal pancasila. Atau, pada tataran administratif, Penataran P4 pada era orde baru menjadi standar tunggal aplikasi berpancasila. Dan ini sarat akan manupulasi kebenaran dengan dalih ideologi pancasila. Kasus TWK di KPK pada secuil segmen saja, barangkali bisa mengkonfirmasi fenomena ini, tentunya masih sangat butuh klarifikasi secara gambalang.
Moderasi Berbangsa
Pancasila sebagai kalimatussawa', ideologi pemersatu itu OK, dan barang kali juga final. Dan kita kiranya sepakat akan hal ini. Namun jika tafsir Pancasila dilakukan secara berlebihan, maka akan mudah "dimanfaatkan" untuk kepentingan tertentu. Kultus Pancasila dalam hal ini hanya akan mendorong kita memahami pancasila secara kaku dan normatif. Nilai kebenaran dalam konteks ini akan mudah diambil alih oleh otoritas pemilik kebenaran, yakni kekuasaan.
Kita tentu masih ingat, pada era Orde baru peringatan "hari Lahir Pancasila" barangkali tidak familiar di telinga kita. Penggunaan term Pancasila, pada era Orba yang sangat kental adalah dalam perayaan "hari Kesaktian pancasila" tiap tanggal 1 Oktober. Pancasila dianggap sakti, karena mampu menagkal ideologi komunis PKI, yang konon mencoba melakukan kudeta kekuasaan melalui gerakan 30 September. Dan jika diteruskan, kita pasti tahu siapa "pahlawan" dalam penumpasan G30S dan tonggak lahirnya kesaktian pancasila? Demikian juga momentum hari lahir pancasila yang baru mulai diperingati secara formal, bahkan sampai melahirkan "tanggal merah" hanya dalam kurun beberapa tahun terakhir ini. Kita tentu bisa menelisik, geneologi politik dan konteslasi yang melatar belakanginya.
Dari sinilah penting memperlakukan Pancasila secara proporsional. Sebagaimana beragama, berbangsa juga perlu moderat. Jika klaim kebenaran keagamaan secara ekstrim dan berlebihan akan sangat berbahaya terhadap keberlangsungan kehidupan sosial, demikian juga kultus ideologi kebangsaan secara berlebihan dan ekstrim juga akan berbahaya dalam konteks berbangsa dan beragama.
Pancasila merupakan nilai dasar kita berbangsa yang terbukti mampu membimbing kita sebagai bangsa bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Realitas kebangsaan kita yang majemuk dan multikulturan tentu membutuhkan ideologi pemersatu, sebagaimana falsafah Bhineka tunggal ika dalam pancasila. Dan ujian terhadap pancasila saat ini benar-benar mendapatkan relevansinya: Ideologi transnasional, kapitalisme, sekularisme adalah sederet tantangan bagi Pancasila kita. Pancasila adalah warisan geneologi bangsa yang akan selalu relevan dalam rangka mewujudkan tujuan bangsa dan negara.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H