Isu SARA masih menjadi materi strategis untuk melakukan kampanye hitam. Masyarakat Indonesia yang masyoritas muslim, menjadi pertimbangan tersendiri untuk mendiskreditkan para kandidat presiden dalam hal keislaman. Seperti kampanye hitam tentang "keberislaman" kedua Capres, yakni Jokowi dan Prabowo. Di mana kedua capres ini oleh beberapa "media", khusunya media sosial masih diragukan keislamannya.
Isu tentang islam dan iman, memang menjadi isu sensitif yang "layak jual". Hal ini karena masyarakat masih menganggap bahwa pemimpin harus mempunyai karakter beragama yang kuat, mengingat Presiden merupakan representasi sebuah Negara. Sebagaimana bunyi sebuah adagium, a-lmulku 'ala dini malikihi, sebuah Negara itu tergantung bagaimana agama (karakter) presidennya. Dalam konteks Negara mayoritas muslim, kadar keagamaan seorang Presiden menemukan titik relevansinya.
Nah, salah satu indikator tingkat keagamaan dalam Islam adalah kemampuan membaca kitab suci atau yang familiar dengan istilah ngaji. Seseorang dianggap kuat kadar keislamannya jika kemampuan ngajinya itu bagus. Itulah mengapa kemudian ada ide untuk melakukan tes ngaji bagi para capres ini, setidaknya hal ini diusulkan oleh  Dewan Ikatan DAI Aceh. Mereka mengundang Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandiaga untuk hadir baca Alquran di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, pada 15 Januari 2019.
Sebenarnya hal senada pernah ramai dibicarakan pada saat Pilpres 2014 lalu, di mana Cawapres Yusuf Kalla saat itu menantang Capres lawan untuk membuktikan kemahiran ngaji. Meskipun usulan ini akhirnya menguap begitu asaja, tidak ada respon dari lembaga terkait.
Sebelumnya, dalam pusaran masa kampanye, isu tentang agama ini sering kali dihembuskan masing-masing tim kampanye, mulai dari penyebutan "al-fatekah" oleh Jokowi, "hulaihi" oleh Prabowo sampai pada polemik tentang imam solat.
Isu-isu berbau agama ini tentu saja menjadi senjata untuk mematikan lawan dalam rangka meyakinkan "keagamaan" masing-masing Capres.
Agama dan Politik
Dalam sejarah perpolitikan di Indonesia, relasi antara entitas agama dan politik (Negara) berjalin kelindan dan mengalami pasang surut dalam berinteraksi. Meskipun para founding father kita telah memantabkan tekad untuk membangan Negara demokrasi, bukan Negara agama, tercermin dalam penghapusan tujuh kata "ideologi Islam" dalam dasar Negara yang termaktub pada Piagam Jakarta.
Namun peran agama dalam kiprah pembangunan bangsa dan Negara tentu saja tidak bisa dipandang remeh.
Dalam kasus kepemimpinan Bung Karno misalnya, Nahdhotul Ulama yang mewakili entitas agama, akhirnya memberikan legitimasi Presiden Soekarno sebagai waliyyu al-amri al-dhoruri bi al-syaukah.
Atau ketika Orde baru berkuasa, kebijakan asas tunggal pancasila oleh Presiden Soeharto diterima oleh NU sebagai pemahaman multikulturalis terhadap Negara. Di sini, agama selalu memainkan perannya sebagai bagian tak terpisahkan dari Negara, meskipun tingkat keeratannya ini mengalami dinamika.