Beberapa waktu lalu, Presiden PKS, Shohibul Iman pernah menyebut Sandiaga Uno sebagai santri era post islamisme. Pernyataan Presiden PKS ini jelas bukannya tanpa alasan, mengingat Sandiaga merupakan sosok yang akhirnya dipilih untuk mendampingi Prabowo dalam kontestasi pilpres 2019.
Mandat dari kalangan ulama yang menginginkan ada representasi ulama atau santri bagi pasangan Prabowo kiranya dimanifestasikan oleh PKS dengan mengkultus Sandiaga sebagai santri post-Islamisme. Dwitunggal nasionalisme-relijius, ulama-umaro akhirnya memaksa partai pengusung Prabowo ini harus melegitimasi sebagai sosok relijius, dengan membungkus term post-islamisme, sebuah jargon marketing untuk kalangan pemilih milenial.
Kiranya ada sedikit keanehan, ketika jargon post islamisme ini digelorakan oleh sebuah partai Islam PKS. Terminologi post-islamisme mengacu pada cara beragama yang melampaui rigiditas agama secara normatif.
Post islamisme bermaksud mendialogkan Islam dalam kerangka zaman dan modernisasi. Lebih pragmatis, begitu kira-kira ungkapan yang mendekati makna terminologi ini. Seseorang akan cenderung post islamisme ketika ia sudah berislam dengan "selesai", ini barangkali makna istilah post = melampaui.
Saya justru melihat gejala post islamisme ini menjangkiti kalangan santri, yang telah selesai dalam berislam. Mereka sudah terlalu "dalam" dalam mempelajari, mengkaji dan "ngaji" agama melalui lembaga-lembaga keagamaan. Sehingga mereka mampu mendialogkan ajaran agama dengan modernitas secara moderat, santai.
Post-Islamisme itu kira-kira mereka melampai ajaran islam, namun tidak serta-merta meninggalkannya. Sehingga mereka tidak sampai jatuh pada cara pikir beragama secara liberal.
Hal ini misalnya bisa kita simak melalui tulisan Ulil Abshor tentang post-Islamisme, di mana  ciri utama gerakan post-Islamisme, adalah kecenderungan mereka yang pragmatis, realistis, bersedia untuk kompromi dengan realitas politik yang tak sepenuhnya ideal dan sesuai dengan skema ideologis murni yang mereka yakini dan bayangkan. Â
Nah ketika terminologi post-Islamisme ini dilekatkan pada sosok Sandiaga, kiranya tidak relevan. Di samping selama ini sosok Sandiaga tidak dikenal sebagai sosok santri, sosok yang bergelut dengan teks keagamaan, kemudian melakukan kompromi dengan modernitas.
Justru saya melihat sosok Sandiaga dan para pendukungnya adalah dari golongan post-sekularisme. Kelompok yang "baru" mengenal islam (agama), setelah mereka bergelut dengan sekularisme.
Post-Sekularisme
Budi Hardiman dalam sebuah artikel (Kompas 7/6/2016) pernah mengulas tentang kecenderungan post sekularisme. Â Dalam pandangannya, dunia saat ini sedang memasuki satu babak yang disebut post-sekularisme. Sesuai dengan namanya, babak ini mengasumsikan bahwa orang mulai kembali kepada nilai-nilai agama, meninggalkan sekularisme yang pernah berjaya, khususnya di Barat.
Fase sekularisme telah berakhir. Kerinduan terhadap agama kembali menghinggapi pola hidup manusia. Comte, Marx, Freud boleh jadi salah. Teknologi dan positivisme terbukti tidak mampu menggeser peran agama.
Secara empiris, gejala post-sekularisme ini setidaknya bisa dijelaskan melalui beberapa hal. Pertama, menguatnya kajian keagamaan kontemporal. Beberapa pemikir mengkritik terhadap kecenderungan posivistik yang melahirkan kecenderungan alienasi manusia. Kemajuan telah menjadikan manusia terasing  dari realitasnya.
Di saat seperti itu, manusia memerlukan "iman" sebagai ekspresi diri dalam menyelesaikan problem hidupnya. Hardiman menguatkan tesisnya ini dengan kajian Habermas bersama Kardinal Ratzinger di Muenchen, bagaimana negara hukum sekuler dan nilai-nilai HAM banyak mengadopsi dari nilai-nilai teologi.
Kedua, fenomena pengungsi Suriah di Eropa. Keberadaan ISIS yang menjadikan Eropa banjir pengungsi, menjadi isu baru tentang pergumulan, agama, negara dan kemanusiaan. Pada titik tertentu, agama menjadi isu strategis, bagaimana nilai-nilai kemanusiaan itu berjalin-kelindan dengan agama.
Ketiga, dalam konteks Islam misalnya, terjadi perkembangan yang signifikan terhadap pemeluk agama Islam. Sebuah lembaga kajian di Amerika, Pew Research Center pernah membuat kajian tentang perkembangan agama-agama di dunia.
Hasil kajian tersebut menyatakan bahwa Islam menjadi agama yang paling pesat perkembangannya, mulai dari 1,6 miliar di tahun 2010 menjadi 2,76 miliar pemeluknya di tahun 2050. Dengan begitu, pemeluk Islam akan menjadi satu pertiga jumlah populasi dunia. Salah satu indikator penjelasnya adalah karena saat ini Islam banyak dianut oleh kalangan muda.
Di Eropa dan Amerika sendiri perkembangan Islam sangatlah pesat. Menguatnya kesadaran beragama -- tidak hanya Islam tentunya-- semakin memperkuat hipotesis, bahwa post-sekularisme adalah keniscayaan.
Di Indonesia, kecenderungan post sekularisme ini bisa kita lihat dari geliat keislaman di ruang publik. Mulai dari fenomena jilbab sampai Perda syariah kiranya bisa menjadi pembacaan terhadap fenomena ini.
Dalam ranah politik, betapa sentimen agama bisa dikonversi menjadi mobilisasi masa dan suara. Munculnya sosok ustad Abdus Shomad (UAS) yang populer melalui youtube adalah satu bukti bahwa kajian keagamaan makin menggeliat di negeri ini. Itulah mengapa para pendukung Prabowo merekomendasikan UAS untuk mendampinginya dalam rangka memenangkan Pilpres.
PKS boleh jadi menganggap Sandiaga sebagai santri, ulama atau apapun yang merepresentasikan agama. Namun menganggap Sandiaga sebagai bagian dari santri post islamisme kiranya kurang relevan.
Justru Sandiaga adalah representasi kalangan post sekularisme, para penemu "agama yang hilang", anak muda hijrah, dan seterusnya yang belakangan memang sedang menjadi trend. Agama, sepanjang sejarah memang telah menunjukkan sisi-sisi dinamis yang dimainkan oleh para tokohnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H