Mohon tunggu...
Muhamad Mustaqim
Muhamad Mustaqim Mohon Tunggu... Dosen - Peminat kajian sosial, politik, agama

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Islam Nusantara yang Eklektik

20 Oktober 2018   16:27 Diperbarui: 20 Oktober 2018   22:34 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak pihak yang kiranya 'gagal paham' dalam memahami maksud dan definisi Islam Nusantara. Yang terjadi, cacian, hujatan, sinis, nyinyir dan sikap tidak suka. Bahkan seorang ustadzah di sebuah stasiun TV dengan nada keras meminta "coret islam nusantara", meskipun sang ustadzah akhirnya harus meminta maaf secara terbuka di TV. Di media sosial lebih parah lagi. 

Beberapa akun tokoh agama menyindir tentang konsepsi Islam nusantara. "Islam itu satu, tidak perlu ditambah-tambah", tulisnya. Jika kita lebih detail melihat maksud dari konsep islam nusantara, beserta konteks yang melatar belakanginya, maka ada semacam kesalah-pahaman dalam melihat Islam nusantara ini.

Itulah mengapa Ketua PBNU, Kiai Said senantiasa menegaskan bahwa Islam Nusantara bukanlah mazhab atau aliran, namun merupakan tipologi, mumayyizat, yang berdiri atas prinsip islam santun, ramah, toleran, berakhlak dan berperadaban. Sampai sini sebenarnya sudah sangat jelas bahwa Islam nusantara bukanlah aliran baru, apalagi tandingan terhadap Islam yang selama ini ada. 

Namun, islam nusantara merupakan paradigma dalam berislam. Islam nusantara adalah metode (manhaj) dalam memahami dan mengamalkan islam secara kontekstual, dengan mendialogkan antara nilai universalitas islam dan kearifan lokal di mana ummat islam berpijak. 

Sebagai paradigma, maka Islam nusantara senantiasa menjunjung tinggi nilai universalitas islam itu sendiri, seperti kesantunan, toleransi, keadilan, dan rahmah bagi semesta. Nilai universalitas ini tetap menjadi payung dalam meramu berbagai kearifan lokal yang menjadi tradisi sebuah masyarakat muslim.

Paradigma itu semacam cara pandang, kaca mata yang akan kita gunakan untuk memindai sebuah obyek atau realitas. Agama dalam hal ini adalah realitas, baik realitas transenden maupun empiris, realitas sakral maupun profan yang membutuhkan metode untuk dapat memahaminya. 

Lebih sederhananya, agama islam yang sudah terlembagakan lebih dari empat belas abad ini memerlukan cara pandang yang relevan dengan tujuan diturunkannya Islam itu sendiri. Berarti akan banyak paradigma dalam memahami Islam? Benar. 

Faktanya, sampai detik ini terdapat ribuan paradigma dalam memahami Islam, yang paradigma ini termanifestasikan melalui corak aliran keagamaan. Berbicara tentang corak keberagamaan, setiap komunitas memiliki ragam dan corak keberagamaan yang berbeda secara empiris.

Memahami Islam, meniscayakan dua domain, agama dan keberagamaan. Pada ranah agama, itu sifatnya sakral, universal dan tidak meruang waktu. Inilah ranah agama yang ideal. Sementara wilayah keberagamaan itu ijtihadi, cara memahami agama dengan berbagai faktor dan setting yang melatarbelakanginya. Islam Nusantara dalam hal ini adalah ranah keberagamaan. 

Cara orang Indonesia memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam, sesuai dengan ruang waktu dan konteks budaya masyarakat, selagi tidak bertentangan dengan prinsip dan nilai universalitas Islam. Jika ada yang mengatakan bahwa Islam itu satu, islam itu kaffah, maka terminologi tersebut masuk pada ranah dimensi agama. 

Di sinilah relevansi Islam Nusantara sebagai paradigma beragama, cara berislam muslim nusantara yang mengutamakan dakwah budaya, mengusung nilai toleran, model beragama dengan damai serta rahmah bagi semesta alam. 

Tipologi ini menjadi karakter yang tak terpisahkan dari islam nusantara, yang telah terbukti mampu bertahan selama berabad lamanya, tanpa menghilangkan tradisi budaya asal, serta tidak menggunakan kekerasan dalam motode dakwahnya.

Jika hal ini dipahami, maka kiranya tidak ada lagi stigma terhadap islam nusantara. Tidak arif menghadap-hadapkan antara islam dan Islam nusantara, apalagi berspekulasi bahwa Islam nusantara itu anti arab. Karena islam nusantara adalah satu dari berbagai paradigma beragama yang selama ini dijalankan oleh ummat di berbagai sudut dunia.  

Eklektisme Beragama

Islam nusantara bisa dikatakan merupakan formulasi yang tepat untuk muslim Indonesia dari berbagai ramuan keberagamaan yang ada. Watak Islam nusantara yang toleran, menjadi semacam melting pot yang menampung berbagai kecenderungan budaya dari manapun, yang sesuai dengan nilai universalitas Islam. Islam nusantara bersifat eklektis, bauran dari berbagai budaya yang terakomodir menjadi satu sehingga melahirkan model beragama yang khas.

Para penyebar Islam di nusantara mempunyai formulasi sendiri dalam melakukan dakwah yang relevan dengan karakteristik masyarakat nusantara. Hal ini bisa dirunut dari pola penyebaran Islam di nusantara yang lebih banyak mengedepankan pendekatan budaya: asimilasi dan akulturasi. 

Islam di Indonesia tidak disebarkan melalui kekerasan, invasi dan penaklukan. Sehingga penerimaan beragama dibangun melalui jalur budaya yang menyentuh titik kesadaran dan ruang kebatinan masyarakat. 

Setiap masyarakat kiranya mempunyai kesadaran primordial, yang merupakan warisan "nilai" dari para leluhur yang harus dipertahankan. Ketika hal ini diganggu, apalagi dengan kedatangan budaya (baca: agama) baru, tentu saja ini akan menyentuk spirit primordial masyarakat. 

Namun dengan pola akomodasi, eklektik dan asimilasi, maka akan mampu menyentuh sendi primordialitas tersebut. Di sinilah semangat islam nusantara, menjadi "bejana" dari berbagai macam ramuan untuk menghasilkan "produk yang enak dan bergizi".

Paradigma Islam nusantara menjadi corak keberagamaan islam moderat yang mampu mendialogkan antara ajaran agama dan kearifan budaya. Wataknya yang moderat, menjadikan tipologi beragama ini toleran, ramah, tidak mudah menganggap pihak lain salah, apalagi harus diperangi. 

Di tengah gejala Islamophobia yang diiringi dengan aksi-aksi kekerasan berbaju agama, maka paradigma Islam nusantara diharapkan mampu menjadi semacam konter narasi terhadap islam radikal yang selama ini terwacanakan. 

Fenomena runtuhnya negara-negara "muslim" Timur Tengah (arabic spring) menjadikan beberapa negara timur tengah tersebut harus belajar dari pengalaman Islam nusantara yang moderat dan damai di Indonesia.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun