PR harus didesain sedemikian rupa untuk mampu menjadi sarana komunikasi antara orang tua dengan siswa, tidak sekedar berisi soal dan seperangkat pertanyaan yang harus dijawab.
Ketiga, PR bisa dilakukan secara insidental, tidak setiap hari terus menerus. PR hanya diberikan ketika memang pembelajaran itu harus dikerjakan di rumah. Selama ini PR seperti tugas wajib harian yang harus selalu ada.Â
Jika satu hari atau lima mata pelajaran, maka akan ada lima PR. Hal ini yang kiranya menjadikan siswa tidak nyaman bahkan bisa menjadikan siswa depresi atau stres. PR semacam ini yang kiranya harus dikaji ulang.
Pelarangan PR secara regulasi kiranya menjadi sebuah kebijakan yang kurang bijak. Sampai saat ini pemerintah melalui Kemendiknas masih melempar "bola liar" tentang PR ini kepada satuan pendidikan atau sekolah masing-masing.Â
Sekolah dalam hal ini dituntut untuk bijak dalam merespon tentang keberadaan PR. Sebagai sebuah media, PR merupakan sesuatu yang netral, tinggal bagaimana kita menggunakannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H