Banyak PR yang secara nyata dikerjakan oleh orang tua atau oleh tim Bimbel (Bimbingan Belajar). Hal ini jika dilihat dari kacamata efektifitas tujuan pembelajaran, maka presentasi ketercapaiannya sangatlah kecil.
Beberapa argumentasi di atas apakah serta merta bisa meruntuhkan keberadaan PR sebagai bagian dari proses pembelajaran.Â
Nah, hal ini yang kiranya perlu dikaji lebih dalam. Ketidakefektifan pemberian PR yang selama ini ada, tidak bisa kemudian menghilangkan eksistensi PR itu sendiri.Â
Sederhananya, jika selama ini PR belum dianggap efektif, maka ada yang perlu diperbaiki dengan model dan struktur PR itu sendiri. Untuk mengusir tikus, tidak seharusnya membakar lumbung padi.
Jika kita analisis dari sudut pandang konsep pendidikan secara lebih komprehensif, ada beberapa tinjauan terkait keberadaan PR dalam pendidikan ini.
Pertama, PR merupakan sebuah komponen belajar yang tidak bisa dilakukan dalam ruang kelas.
Jika kita analisis melalui empat pilar tujuan pendidikan misalnya, di mana pendidikan berorientasi pada empat hal, yakni how to know (pengetahuan), how to do (ketrampilan), how to be (sikap/perilaku) dan how to live together (sosial).
Maka, PR adalah implementasi dari aspek yang tidak memungkinkan dilakukan di sekolah atau kelas.Â
Misalnya aspek sosial, PR akan mampu memberikan pembelajaran bagaimana siswa berinteraksi dengan lingkungan masyarakat, yang itu tidak memungkinkan jika dilakukan di sekolah.Â
Demikian juga misalnya aspek sikap, bagaimana interaksi dengan orang tua, saudara atau keluarga yang membutuhkan pengalaman langsung, tidak sekedar teori atau pengetahuan.
Kedua, PR menjadi media komunikasi pembelajaran siswa dengan orang tua. Dengan PR setidaknya orang tua mengetahui tentang perkembangan anaknya, dan orang tua mampu memberikan masukan tentang materi atau kurikulum jika dirasa kurang relevan.Â