Dari sini, berpolitik itu perlu akal sehat. Seorang politisi, harus menggunakan akal sehat, dalam menerima, menggunakan dan menggerakkan informasi. Emosi dan kebencian hanya akan melahirkan dan mereproduksi hoaks untuk tujuan politiknya.Â
Dan ini yang kita sayangkan dari para politisi kita, menggunakan segala cara -- termasuk kebohongan -- untuk tujuan politik praktis mereka, nalar machiavellian. Pola seperti ini hanya kan menjauhkan dari etika dan fatsun politik.Â
Politik akal sehat adalah bagaimana menggunakan politik dengan logika yang jernih, nurani yang bersih, sehingga tidak mudah dimainkan oleh hoaks yang terkadang mampu mengaduk-aduk emosi, simpati dan empati.
Era teknologi informasi saat ini benar-benar telah mampu menggeser akal sehat manusia. Di media sosial, terkadang netizen dengan mudah men-share informasi tanpa membuka dan membacanya terlebih dahulu.Â
Sederhananya, jempol telah mampu mengambil alih kuasa akal. Kebohongan kalau itu banyak dibaca dan dibagikan, maka derajatnya akan semakin "naik tingkat" kepada kebenaran.Â
Dan jika hal ini masuk ke ranah politik, maka dampak dan resonansinya akan semakin besar. Inilah yang barangkali dikhawatirkan salah satu penulis novel, bahwa masa depan manusia adalah evolusi manusia yang menyatu dengan teknologi.Â
Yang menggerakkan manusia bukan lagi akal dan nuraninya, namun oleh teknologi yang mengalir ke dalam darah dan benaknya. Meskipun teknologi tersebut memerintahkan kepada kebencihan dan kejahatan. Semoga saja hal ini keliru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H