Mendengar kata Gerwani, maka akan terbayang kebrutalan dan kekejaman kaum wanita, hal itu yang setidaknya penulis alami waktu masih remaja. Sebagaimana induk organisasinya PKI, Gerwani yang  merupakan onderbrow PKI inipun mempunyai asosiasi yang sama.
Pada masa Orde baru, PKI dan seluruh organisasi yang bernaung di dalamnya ditahbiskan sebagai organisasi yang biadab. Propaganda anti PKI ditanamkan dalam segala aspek, dan memiliki implikasi politis.
Setiap orang yang memiliki garis keturunan PKI, maka akan dikucilkan dan mendapat stigma yang luar biasa buruk. Tidak hanya berhenti di situ, PKI kemudian dianggap sebagai organisasi yang terlarang di Indonesia.
Salah satu propaganda yang cukup efektif adalah pemutaran film G30S/PKI yang diputar setiap malam tanggal 30 September. Dalam salah satu adegan tersebut, ditampakkan kebrutalan dan kekejaman yang dilakukan oleh PKI dengan menculik, menyiksa, membunuh dan mengubur hidup-hidup para jendral ABRI.
Dan adegan tersebut, dilengkapi dengan penyiksaan yang dilakukan oleh kaum wanita yang tergabung dalam Gerakan wanita Indonesia atau Gerwani.
Adalah sebuah keniscayaan bahwa kekuasaan seringkali menggenggam sejarah. PKI dan Gerwani selama ini ditampakkan menjadi sejarah kelam, dengan menguak sisi negatifnya. Padahal banyak hal tersembunyi  - dan hal itu merupakan fakta yang sesungguhnya -- dalam kasus G30S/PKI tersebut.
Peristiwa tersebut telah menjadi tragedi pembunuhan massal sipil tak bersalah, serta upaya demonisasi salah satu organisasi perempuan terkuat pada zamannya, sebagai dasar untuk melakukan pembungkaman bahkan upaya penghancuran gerakan perempuan di Indonesia.
Gerwani sebagai salah satu gerakan perempuan di Indonesia, yang notabene merupakan negara Selatan mengadopsi konsep ini. Berbeda dengan gerakan perempuan di negara--negara maju (Utara) yang lebih mengusung feminisme radikal, gerakan perempuan negara-negara Selatan lebih berorientasi Sosialis.
Biasanya gerakan perempuan di negara-negara yang berada dalam proses perubahan sosialis mendapatkan dukungan penuh dari seluruh aparat negara, seperti federasi Perempuan Tiongkok di China.
Pada konggres pertama pada bulan Desember 1951, Gerwis yang menjadi cikal bakan Gerwani, berada dalam kondisi sulit. Banyak utusan yang seharusnya hadir masih berada di penjara.
Hal ini tidak lepas dari peristiwa Pemberontakan PKI 1948 di madian yang dipimpin Muso. Pasca peristiwa tersebut, PKI dan semua onderbrow nya banyak yang ditangkap, termasuk para aktifis perempuan yang bernaung dalam PKI.
Dalam konggres pertama inilah nama Gerwis kemudian diubah menjadi Gerwani. Hak perempuan dan anak-anak menjadi tema konggres ini. Selain itu, peralihan nama menjadi Gerwani semakin menjadikan Gerwani organisasi yang inklusif, semua agama, sektarian boleh masuk ke wadah oraganisasi ini.
Selanjutnya gerakan strategis Gerwani sudah masuk pada kebijakan politis. Kritisi terhadap Undang-undang Perkawinan yang dinilai lebih merugikan kaum perempuan menjadi arah strategi organisasi.
Selain itu resolusi Gerwani pada Konggres yang kedua tahun 1954 juga diarahkan pada upaya pemilihan umum (Pemilu), keamanan nasional dan protes terhadap percobaan nuklir (Wirienga: 235).
Orba dan Penghancuran Gerakan Perempuan
Pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru, membawa implikasi politik bagi gerakan komunisme. Isu pembantaian dan pemberontakan yang dialamatkan pada PKI menjadikan organisasi komunis ini kambing hitam.
Stigma penghianat  Pancasila dan pemberontak yang disandangkan pada PKI, menjadikan PKI ini momok menakutkan. Kampanye kebiadaban PKI yang digulirkan oleh Orde Baru merasuk sampai pada jiwa manusia Indonesia yang paling dalam.
Selain itu, PKI juga dikaitkan dengan kekacauan yang dilambangkan dengan perilaku seksual buruk perempuan komunis. Sehingga masyarakat hanya bisa diselamatkan dengan pembersihan komunisme secara tuntas dan dengan menempatkan kembali simbol perempuan pada posisi yang lebih rendah.
Depolitisasi gerakan perempuan pada era ini mencapai titik didihnya. Gerakan perempuan yang tanpa kontrol hanya akan melahirkan perempuan-perempuan kejam biadab seperti gerwani. Gerakan perempuan akhirnya tiarap. Propaganda sosok perempuan sebagai kaum lemah lembut dan non-politis dilakukan di mana-mana.
Pemerintah melalui figur Soeharto, ditampilkan sebagai satu-satunya kekuatan tunggal yang mampu memulihkan dan memelihara ketertiban masyarakat.
Hal ini dilanggengkan dengan cara mereproduksi secara terus menerus mitos binatang komunis yang sesat. Subordinasi perempuan berupa penggambaran perilaku perempuan yang "patut", menjadi pilar masyarakat orde baru. Dimana Gerwani digambarkan sebagai perilaku tanpa aturan dan merusak moral.
Sampai sini lah, politik hegemoni kekuasaan bermain. Relasi gender di Indonesia kemudian ditata secara kasar. Perjuangan gerakan perempuan yang menyuarakan persamaan dalam politik serta menyerukan simbol perempuan sebagai "Srikandi" dianggap sebagai sesuatu yang melanggar kodrat perempuan.
Perempuan kemudian dikembalikan pada wilayah domestik rumah tangga. Dengan regulasi secara sosial dan norma, perempuan digiring untuk tidak ikut campur pada ranah publik dan politik.
Orde baru menjadi masa stagnasi bagi gerakan perempuan. Berbagai stigma dan prasangka disandangkan pada para perempuan yang melampaui kodrat mereka sebagai wanita. Berbagai gerakan perempuan, gerakan subversif diberangus. Titik kulminasinya adalah matinya gerakan perempuan dalam proses perjuangan dan emansipasi.
Era reformasi sudah semestinya menjadi momentum bagi gerakan perempuan untuk bangkit dan berjuang. Keterbukaan dan kebebasan dalam segala aspek, menjadi pemantik bagi menyalanya semangat perjuangan.
Di era demokratis ini, gerakan perempuan harus ikut andil bagi pembangunan peradaban bangsa. Sebagaimana sabda nabi, wanita adalah tiang negara. Jika baik kaum perempuan, maka baiklah negara tersebut, sebaliknya jika buruk kaum perempuan, maka buruk pula negara tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H