Mohon tunggu...
Muhamad Mustaqim
Muhamad Mustaqim Mohon Tunggu... Dosen - Peminat kajian sosial, politik, agama

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Anak Kita, Anak Zaman

29 September 2018   09:05 Diperbarui: 29 September 2018   09:09 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anakmu bukan anakmu 
Mereka adalah anak dari kehidupan yang ingin menjadi diri mereka sendiri 
Mereka datang melaluimu, tapi bukan darimu 

(Kahlil Gibran)

Wejangan Gibran di atas barangkali relevan untuk kita renungkan. Anak-anak kita adalah anak-anak zaman, ia diasuh dan dibesarkan oleh kehidupan. Meskipun mereka adalah anak biologis kita, namun mereka adalah produk pemikiran masa. 

Kita tidak bisa memaksakan kepada mereka apa yang kita inginkan, karena era mereka sudah berbeda dengan generasi kita. Terus apa yang bisa kita lakukan? Haruskan kita melepaskan mereka untuk ditelan oleh keangkuhan zaman?

Generasi milenial, barangkali sebutan yang aktual untuk anak-anak kita yang lahir setelah pecahnya millenium ketiga, abad 21.  Era milenial ditandai dengan perkembangan informasi dan komunikasi yang begitu pesat dan cepat, yang pernah diprediksi oleh Alfin Toffler sebagai gelombang ketiga (the third way). Gelombang ketiga adalah gelombang informasi. 

Dunia telah bertransformasi menjadi sebuah perangkat-perangkat digital yang akan menghubungkan antar manusia dan antar teknologi. Manusia milenial memiliki dunia yang khas, akses informasi tak terbatas, terhubung dengan manusia secara cepat, menggunakan perangkat digital serba canggih. Dan dunia seperti ini mungkin sangat berbeda dengan dunia kita generasi X dan Y.

Kecenderungan era milenial ini menjadi tantangan tersendiri bagi anak-anak kita. Gawai canggih adalah mainan paling praktis yang mereka gunakan. Mainan tradisional bagi anak-anak kita adalah artefak masa lalu yang hanya cukup untuk diketahui saja, tidak lebih. Game gawai yang setiap hari, bahkan menit selalu update dan upgrade menyebabkan mereka akrab dan menyatu dengan piranti elektronik tersebut. 

Tak heran, beberapa waktu lalu kita mendengar berita tentang seorang anak yang kecanduan gadget (gawai), sampai harus ditangani oleh ahli medis kejiwaan. Anak saya misalnya, yang masih berumur 3 tahun itu sangat akrab dengan youtube dan game gawai. Sebuah perjuangan yang "berdarah-darah" ketika harus memisahkan dia dengan gawai, sebuah tantangan mendidik anak, dibutuhkan strategi yang handal.

Teknologi selalu memiliki dua sisi.  Memang melalui gawai canggih, ada media pendidikan di sana. Namun juga banyak permainan-permainan candu, yang terkadang mempengaruhi perkembangan psikologis anak. 

Anak-anak kita adalah anak-anak teknologi, sebagaimana wejangan Gibran di atas. Sebagai seorang dosen, kita menghadapi para mahasiswa yang bersahabat dengan teknologi: google. 

Tidak sedikit mahasiswa yang mengerjakan tugasnya cukup dengan bantuan google, bahkan terkadang mereka terlalu acuh untuk memahami isi tugas mereka. Mereka tunduk dan pasrah pada otoritas google, sebuah ironi bagi kaum cendekia. 

Yang lebih ironi lagi, ketika mereka menjawab pertanyaan saat diskusi, mereka juga mencari jawaban dan menjawab versi google, tidak ada analisis, tidak ada rasionalisisi, seakan terhipnotis oleh kemaha-benaran sang google.

Padahal, mesin google adalah bentuk dari artifisial intelegence (AI), kecerdasan buatan. Google itu cerdas, canggih, bisa menganalisis, bisa mencari kebenaran, bisa berbicara. Itu benar. 

Namun harus diingat, google adalah alat, kecerdasannya adalah artifisial, buatan. Ia hanya mengikuti program, tidak berbudaya. Lihat saja, bagaimana google mengeja tulisan dan melafalkannya, ada kekakuan disitu, tanpa mimik, tanpa intonasi, tanpa nada bicara.

Bahaya yang sebenarnya adalah ketika anak-anak kita terlalu akrab dengan teknologi, sehingga terhegemoni oleh teknologi. Mereka akan dengan mudah didekte oleh teknologi, akal dan logika akan termatikan.  

Meminjam bahasa Dan Brown dalam Novel Origin (2017), akan-anak kita pada akhirnya nanti adalah jenis species baru, produk dari evolusi manusia: technium. Species ini mengasumsikan penyatuan (manunggal) antara manusia dengan teknologi. Manusia dalam andaian ini adalah sebuah makhluk yang digerakkan oleh teknologi, kecerdasan buatan dan informasi. Nurani dan logika kemanusiaan secara perlahan akan digerogoti oleh teknologi. Jika ini terjadi maka peradaban manusia akan mengalami era baru.

Sebagai manusia, kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga kelestarian nilai "kemanusiaan", melalui anak-anak kita generasi masa depan. Nilai kemanusiaan ini adalah jadi diri hakiki manusia, yang mampu membedakan dia dengan makhluk lainnya. Nilai kemanusiaan ini, jika menurut bahasa agama memiliki dua dimensi, vertikal dan horisontal. 

Dimensi yang pertama adalah nilai manusia sebagai hamba Tuhan. Sedangkan  dimensi horisontal mengamanatkan manusia untuk mampu melestarikan alam semesta, membangun peradaban manusia. Misi ini tidak boleh hilang dari jati diri manusia. Dan melalui pendidikan, kita orang tua harus senantiasa melestarikan nilai kemanusiaan ini. Mari mendidik anak-anak kita, sebagai manusia adanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun