Mohon tunggu...
Muhamad Mustaqim
Muhamad Mustaqim Mohon Tunggu... Dosen - Peminat kajian sosial, politik, agama

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dramaturgi Media Sosial

5 Juli 2018   15:29 Diperbarui: 9 Maret 2021   08:16 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: freepik/rawpixel)

Di media sosial, orang -- tepatnya akun -- mudah sekali berkata-kata, terkadang menjadi bijak, kadang juga mencaci penuh serapah.

Melalui akun, seseorang menampakkan dirinya sebagai sosok tertentu, baik yang paling diinginkan maupun yang tidak diinginkan. Dan tidak jarang, seseorang yang mempunyai lebih dari satu akun, yang bisa jadi masing-masing akun memiliki karakter atau avatar yang berbeda, bahkan saling memusuhkan diri.

Tak heran jika kemudian antar-netizen ini saling dukung, menguatkan, hujat, caci, fitnah, bahkan perang. Jika perang, maka semua wadyabala akan ikut membantu, berbagi peran dengan misi yang sama, satu komando untuk melumpuhkan musuh. Inilah barang kali model perang ala twitwar, perang di Twitter.

Di Twitter semua orang boleh mencuit, ngomong sesukanya, share berbagai link dan twit orang lain, yang terkadang tanpa konfirmasi dan tabayyun. Benar kata orang, kalau sudah bermedia sosial, yang dominan tidak lagi akal dan hati, namun jari.

Pertanyaannya, apakah di dunia nyata orang akan bijak seperti akunnya? Apakah orang yang senyatanya pemarah dan pencaci sebagaimana akun media sosialnya? Dalam hal ini, saya mempunyai pendapat sendiri. Orang dan akun adalah dua entitas yang berbeda. Akun tidak identik dengan orang. 

Menurut pengalaman, banyak fenomena "orang" berantem di media sosial, namun ketika ketemu di dunia nyata, mereka tidak sebrutal ketika bersinggungan di dunia maya. Sehingga saya memahami bahwa realitas di media sosial itu ibarat dramaturgi. 

Dalam teori dramaturgi, ada dua realitas yang terbangun, panggung depan dan panggung belakang. Ibarat sebuah drama, panggung depan menampilkan karakter sesuai dengan peran yang diberikan.

Panggung depan adalah ruang komunikasi, bagaimana pemain peran memberikan pesan dan komunikasi kepada penonton  tentang karakter peran yang dimainkan. Nah, panggung belakang adalah karakter sejati yang dimiliki yang pemain, yang kosong dari hiruk pikuk penonton dan tepuk tangan.

Saya mengasumsikan bahwa akun-akun yang ada di media sosial itu semua adalah peran panggung depan. Apa yang mereka tulis dan share di internet, tidak lain adalah karena tuntutan peran.

Segala aktivitas medsos, mulai dari buzzer terhadap afiliasinya, mencaci, menebarkan hoax adalah bagian dari permainan peran saja. Saya membayangkan, manusia-manusia dibalik layar dan jempol adalah manusia yang tidak seberingas ketika "menjelma" menjadi manusia lain pada akun-akun di internet.

Terus, siapa yang kemudian membuatkan mereka ini peran? Nah, mereka ini digerakkan oleh kepentingan yang menjadi "relasi kuasa" atas kecenderungan masing-masing individu.

Ada banyak singgungan kepentingan yang saling mendominasi setiap individu ke dalam akun-akun media sosial. Singgungan kepentingan inilah yang kemudian melahirkan individu terkadang memiliki lebih dari satu akun.

Apakah "kepentingan" ini hanya bersifat materi? Dengan kata lain, mereka melakukan gerakan di medos karena persoalan uang? Boleh jadi, tapi tidak semua. Di sini, ada kepentingan budaya, afiliasi golongan, hobi, patronase, keyakinan yang itu semua menggerakkan peran-peran akun di media sosial. 

Fenomena "gaduh" di dunia maya boleh saja kita sikapi, namun tetap secara proporsional, jangan berlebihan. Karena dunia nyata adalah "panggung belakang" yang merupakan karakter senyatanya, substansial, bukan artifisial.

Meskipun, dunia nyata nanti juga bisa terbelah lagi menjadi dua panggung depan dan belakang, namun setidaknya di banding dengan bangung dunia maya, dunia nyata ini lebih menggambarkan realitas. Sampai titik ini, kiranya tidak perlu "kagetan" melihat gegap gempita dan kegaduhan yang terjadi di dunia maya.

Terakhir, mengutip pernyataan penutup film Ready Player One besutan Steven Spielberg yang tayang Maret 2018, "Dunia nyata adalah satu-satunya hal yang nyata". Betapapun dunia maya itu tampak realistis, namun tetap saja itu tidak nyata. Dunia maya adalah realitas "semu" yang artifisial, meskipun kita setiap kali bersinggungan dengannya, dan seakan masuk dan tenggelam di dalamnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun