Ramadan menjadi bulan yang mulia, karena tradisi puasa mempunyai implikasi dalam kehidupan manusia, baik secara sosial, ekonomi, budaya mungkin juga politik. Secara sosial budaya, ada pergeseran prilaku sosial yang terjadi pada bulan Ramadan.
Berbagi suasana positif, dari kejujuran sampai pada filantropi sangat melekat pada prilaku masyarakat muslim pada saat Ramadan. Dalam sektor ekonomi bisa kita rasakan, mulai dari naiknya harga kebutuhan pokok, sampai iklan di televisi yang beraroma Ramadan.
Terlepas dari hiruk pikuk aspek tersebut, harus diakui bahwa Ramadan mempunyai daya tarik yang luar biasa bagi prilaku manusia. Dalam hal ini, puasa adalah ibarat lokomotif.
Pertama, fungsi lokomotif adalah menarik gerbong. Demikian juga puasa, ada beberapa "gerbong" yang ditarik oleh lokomotif yang bernama puasa. Gerbong-gerbong itu adalah ibadah-ibadah sunnah yang mengiringi puasa.
Gerbong itu bisa bernama tarawih. Sholat tarawih, hanya dikerjakan khusus pada bulan Ramadan. Dengan kata lain, hanya lokomotif puasa lah yang mampu menarik gerbong tarawih ini.
Tradisi tarawih menjadi "khas" bulan Ramadan. Meskipun ibadah ini hukumnya sunnah, namun tidak jarang ummat Islam yang memposisikan seperti fardlu. Dan secara empiris, solat isya' plus tarawih pada bulan Ramadan lebih penuh jamaahnya dari pada bulan-bulan lainnya.
Gerbong selanjutnya bisa bernama tadarrus. Tadarrus sering dipahami sebagai membaca al-Qur'an secara tartil. Meskipun 'gerbong' tadarrus ini sebenarnya bukan hanya ditarik oleh lokomotif puasa, namun kenyataannya banyak orang yang hanya melakukan tadarrus saat bulan Ramadan.
Tidak sedikit orang yang secara intens melakukan tadarus dengan target khatam selama Ramadan, bahkan khatamnya lebih dari sekali, namun pada bulan-bulan lainnya, orang menjadi "malas" ketika harus membaca al-Qur'an. Ini yang sekiranya harus digeser, sehingga Ramadan  mampu menjadi bulan "diklat" untuk 11 bulan berikutnya.
Selanjutnya ada gerbong sholat malam, presantren kilat, mondok "posonan", zakat fitrah, dan yang perlu untuk disebut juga adalah gerbong "tidur ibadah".
Tradisi tidur siang hampir menjadi tradisi yang tidak terpisahkan ketika puasa. Hadis yang berbunyi "tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah" menjadi spirit untuk ibadah ini.
Sebenarnya tidur adalah kegiatan pengganti dari hal-hal yang dilarang agama, seperti ghibah, gosib dan lainnya. Sehingga daripada bergosip ria - sebuah kegiatan yang sangat mengasyikkan ketika puasa - maka alangkah lebih enaknya ketika diganti dengan tidur.
Kedua, fungsi lokomotif adalah transportatif dan transformatif, yaitu melakukan perpindahan dan perubahan. Demikian halnya puasa, mempunyai peran dalam melakukan perpindahan dan perubahan bagi ummatnya.
Puasa berfungsi melakukan perpindahan, dari kondisi banyak dosa, menjadi orang yang sedikit dosa, dari seseorang yang malas beribadah menjadi orang yang rajin.
Dan akhirnya lokomotif puasa akan membawa kita ke stasiun " Idul fitri". Idul fitri merupakan kondisi dimana kita kembali kepada kesucian. Inilah tujuan puasa, mengantarkan kita menjadi orang yang suci, rajin, optimis, humanis, rendah hati yang semua itu terbungkus dalam istilah 'bertaqwa", la'allakum tattaqun.
Membangun "Puasa Sosial"
Secara bahasa, puasa diartikan sebagai menahan diri. Pengertian ini membawa pada pemahaman istilah bahwa puasa itu menahan diri dari perbuatan yang bisa membatalkan, mulai dari fajar sampai terbenamnya matahari.
Nah, dalam pemahaman umum, puasa itu ya tidak makan, minum, melakukan sex pada siang hari. Pemahaman ini kiranya tidak salah, hanya saja harus dikembangkan pada aspek yang lebih luas.
Hakekat puasa adalah menahan diri. Ini berarti orang yang berpuasa harus mampu menahan diri dari berbagai tindakan dan prilaku yang bisa merugikan orang lain dan merusak. Inilah makna komprehensif puasa, yang tidak sekedar menahan makan dan minum.
Bahkan Rasulullah pernah memperingatkan bahwa, banyak orang yang berpuasa itu hanya lapar dan haus. Artinya, jika seseorang berpuasa hanya bisa menahan diri dari makan dan minum, namun secara sosial ia merugikan orang lain, baginya hanyalah rasa lapar dan haus.
Karena itu, puasa mengajarkan kita untuk menahan diri dari setiap prilaku yang negatif, merugikan orang lain dan tidak bermanfaat.
Di sinilah urgensi puasa diuji, bagaimana menahan diri dari tindakan yang merusak dan merugikan orang lain. Karena puasa tidak hanya bertujuan membangun kesalihan individual, namun juga merangsang terwujudnya kesalehan sosial.
Sikap empati, simpati, toleransi adalah beberapa sifat sosial yang dibangun dalam puasa. Mengutamakan kesalehan inividu, dengan mengorbankan kesalehan sosial kiranya adalah prilaku yang kurang arif dan bijaksana. Semoga  puasa kita semakin menjadikan diri kita saleh, baik secara individu maupun sosial!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H