Mohon tunggu...
Muhamad Mustaqim
Muhamad Mustaqim Mohon Tunggu... Dosen - Peminat kajian sosial, politik, agama

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ada Baiknya Kita Tidak Arab Sentris

19 Mei 2018   21:09 Diperbarui: 20 Mei 2018   13:47 5164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu lalu, sempat viral di media sosial tentang fenomena tulisan Arab di rok artis Agnes Mo. Tulisan "Al-muttahidah" dalam huruf Arab ini oleh sebagian orang dianggap sebagai penistaan agama Islam. Padahal, tulisan tersebut tidak lain adalah label sebuah produk yang konon menyampaikan pesan persatuan.

Fenomena ini sebenarnya menandaskan bahwa masih banyak sebagian orang Islam yang memandang Islam dan Arab secara tumpang tindih. Bahkan pada titik tertentu, Islam dan Arab dianggap sebagai dua entitas yang sama. Arab ya Islam.

Pemaknaan ini pada sebagian kecil persinggungan bisa dibenarkan, mengingat Islam lahir di Arab, kitab sucinya menggunakan bahasa Arab, kiblatnya (ka'bah) berada di Arab dan beberapa ritual ibadahnya juga berbahasa Arab. Namun harus dipahami, pada persinggungan yang lebih luas harus ditegaskan bahwa Islam bukanlah Arab.

Jika dirunut lebih jauh, fenomena ini bisa sampai pada apa yang disebut dengan kecenderungan Arabisme. Arabisme bisa dipahami sebagai cara beragama yang selalu disandarkan pada model Arab. Atau dengan bahasa yang lebih mudah, berIslam yang paling benar adalah berIslam yang sesuai dengan budaya Arab. Di Indonesia, model Arabisme akhir-akhir ini cukup menguat.

Beberapa indikator tentang hal ini misalnya, munculnya kelompok bersorban dan berjubah, pengusungan sistem khilafah, sampai pada penggunaan ana-antum dalam berkomunikasi. Bahkan beberapa kalangan mengidolakan Arab -- lebih tepatnya Arab Saudi -- sebagai model ideal dalam beragama, termasuk sistem politik dan pemerintahan.

Arabisasi dan Pribumisasi

Fenomena Arabisme ini pada saatnya akan melakukan proses Arabisasi sebagai gerakan dakwahnya. Arabisasi ini menjalar pada budaya-budaya non Arab dalam proses dakwah Islam. Menyebarkan dakwah Islam dengan melekatkan atribut dan label Arab secara apa adanya, sembari menganggap yang tidak sesuai dengan dirinya adalah bid'ah atau sesat menjadi arus utama model Arabisasi ini.

Di Indonesia gagasan tentang Arabisasi tampaknya tidak begitu signifikan, meskipun secara getol dan sporadis  dilakukan.  Hal ini tidak lepas dari proses dakwah Islam awal yang lebih bernuansa kearifan lokal. Para penyebar Islam di nusantara, lebih menggunakan proses akulturasi dalam penanaman nilai-nilai Islam. Hal ini yang oleh Gusdur disebut sebagai pribumisasi.

Pribumisasi mengasumsikan bahwa nilai-nilai dan kearifan budaya yang telah ada, tidak kemudian diubah dengan budaya Islam (Arab). Namun bagaimana nilai dan prinsip Islam itu merasuk ke dalam sistem hidup dan budaya masyarakat setempat.

Islam Nusantara barangkali adalah sublimasi pribumisasi Islam melalui kearifan pribumi yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Sehingga tidak heran, Islam di Indonesia ini dikenal dengan model keberIslaman yang toleran. Konsep hanafiah al-samhah, kecenderungan untuk selalu lurus dengan tetap menyesuaikan diri dengan tabiat masyarakat, kiranya menjadi karakter pribumisasi Islam ini.

Dalam bahasa jawa, dikenal istilah lenceng galeng, di mana lenceng atau lurusnya galeng (pematang sawah) itu tidak kemudian seperti lurusnya penggaris, namun ada sekedar belokan, menanjak-menurun bahkan terkadang bergelombang. Ini barangkali konsep Islam yang tasamuh (seakar dengan kata samhah), toleran terhadap fenomena pribumi dan lokal.

Islam, Arab dan pribumi merupakan tiga entitas yang berbeda, namun ketiganya berjalin-kelindan dalam merangkai sebuah entitas budaya yang saling mengisi. Agama pada ranah aplikasi adalah berwatak faktual, ia menyesuaikan diri dengan ruang waktu yang ada. Menghargai Arab sebagai  latar historis perkembangan Islam adalah sebuah keniscayaan dalam memahami keberagamaan secara arif.

Menggunakan Arab sebagai historis, ruh, substansi dan nilai kiranya akan lebih mendekatkan diri pada tujuan risalah Islam, rahmatan lil-alamin. Pun tidak kemudian membuang Arab secara serta-merta, misalnya dulu ada fenomena sholat dengan memakai bahasa Indonesia. Namun menganggap Islam identik dengan Arab, kemudian menyifatkan Arab sebagai Islam adalah sebuah kesalahan berfikir yang over-generalisasi. 

Musim semi Arab (Arabic spring) beberapa waktu lalu yang telah menumbangkan beberapa rezim pemerintahan Negara Arab -- Islam seyogyanya menjadi pelajaran kita bersama, betapa Arab bukanlah satu-satunya kiblat ideal yang harus diikuti. Islam nusantara dengan tabiat toleran dan kearifan pribumi, kiranya sudah terbukti menjadi model terbaik bagi keberagamaan muslim di Indonesia ini.

 Terakhir patut kita renungkan ungkapan Gusmus, bahwa kita adalah orang Indonesia yang beragama Islam. Kita bukan orang Islam yang kebetulan dilahirkan di Indonesia. Bisa kita pahami bahwa tanah air nusantara inilah yang menjadi tempat kita berpijak, tumbuh dan hidup, apapun agama dan suku kita. Sehingga penghargaan terhadap keberagaman Nusantara ini tidak bisa kita singkirkan dengan ego kebenaran agama kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun