Mohon tunggu...
Muhamad Mustaqim
Muhamad Mustaqim Mohon Tunggu... Dosen - Peminat kajian sosial, politik, agama

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Habitus Pesantren Ramadhan

19 Mei 2018   06:04 Diperbarui: 19 Mei 2018   06:53 768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada sebuah meme di media sosial, gambar Gusdur tertawa dengan tulisan "Ha..ha.. iseh penak jamanku, Poso preine sesasi". Barangkali meme ini hanya sekedar lucu-lucuan, mengadopsi meme Soeharto yang popular itu, "Piye kabare le.. iseh penak jamanku tho!". Sebagaimana kita ingat, pada era Gusdur, ada kebijakan meliburkan sekolah-sekolah secara full ketika bulan Ramadan. Kebijakan ini tentu saja menuai kontroversi. Namun sebenarnya ada makna spiritual yang hendak dibangun dari kebijakan Gusdur ini.

Sebenarnya bukannya tanpa alasan ketika Allah mensyariatkan Ramadan sebagai satu bulan untuk puasa. Dengan berbagai motivasi, Ramadan memiliki keutamaan dan keistimewaan yang berbeda dengan bulan lainnya. Dalam kaidah syariah, kita memang tidak bisa menangkap pesan "hakiki" dari sebuah ritual ibadah. Jelasnya, kita tidak mengetahui, apa maksud Allah mensyariatkan puasa, mengapa satu bulan, mengapa Ramadan, mengapa mulai terbit fajar sampai terbenam matahari, dan seterusnya. Namun pembacaan ide Tuhan itu bisa kita tangkap melalui apa yang kita sebut hikmah. Hikmah ini, tentu saja sesuatu yang subyektif, berbasis pengalaman keagamaan, da bersifat intuitif.

Dalam konteks ini, kebijakan libur Ramadan, libur kerja, atau lebih teknis lagi keberadaan pesantren "kilat", kemudian menemukan titik relevansinya. Pesantren Ramadan secara lebih luas dipahami sebagai media "charging", untuk mengisi ruang pengetahuan, spiritual dan sikap dengan pengalaman keagamaan. Kebijakan pesantren kilat di beberapa sekolah dalam konteks ini mungkin relevan, namun pesantren kilat seringkali bersifat normatif dan formalitas. 

Tradisi posonan, barangkali juga hampir sama, hanya saja lebih intens, bagaimana seorang santri ditempa, mondok, berinteraksi dengan lingkungan sosial yang sedemikian rupa. Produk dari kegiatan ini tentu saja adanya prilaku yang baik, yang terbekali dengan kognisi agama. Meminjam istilah Pierre Bourdieau, laku ini disebut sebagai habitus. 

Habitus, bagi Bourdieau (1997) merupakan gugus kesadaran moral yang tumbuh dari proses internalisasi sosio-moral akan nilai kebaikan, cinta, penghormatan dan pengakuan akan sesama. Sehingga ia merupakan produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu.

Pesantren bukan sekedar rumusan istilah yang selama ini dipahami sebagai sebuah pondok yang di dalamnya terdapat kiayi, santri, masjid dan sebuah proses pembelajaran. Namun kita hendak memahami istilah pesantren itu secara lebih luas, yakni segala bentuk pengalaman keagamaan yang didapatkan (dituntut) oleh seorang muslim di bulan Ramadan. 

Dalam pengertian yang lebih luas ini, maka setiap orang, siapapun dia yang menyikapi Ramadan sebagai gudang hikmah dan kebaikan, ilmu dan ibadah, maka pada hakekatnya ia adalah santri. Kiayinya, adalah siapa -- dan apa - saja yang memberikan ilmu dan hikmah. 

Masjidnya, adalah semua tempat yang dipakai untuk menapaki jalan-jalan kebaikan. Dan proses pembelajarannya adalah pengalaman keagamaan, segala bentuk interaksi baik sosial maupun spiritual dalam merespon bulan Ramadan. Inilah universalitas Ramadan adalah pesantren. Seseorang yang nyantri, tidak harus terikat dengan realitas ruang.

Pemaknaan secara holistik akan Ramadan dan pesantren ini pada akhirnya akan menciptakan ruang spiritual, intuisi beragama yang terbangun secara komprehensif. Sehingga produk Ramadan sebagai pesantren ini mampu melahirkan sebuah 'laku" atau habitus yang bersumber dari nilai dan spiritualitas agama. 

Habitus muslim secara umum, pada ahirnya akan mampu terakumulasi ke dalam laku komunitas  ummat yang ideal dan produktif. Habitus muslim ideal tentu saja senantiasa merepresentasikan nilai dasar risalah Islam, yang dalam hal ini terangkum dalam konsep rahmatan lil alamin, menjadi rahmat bagi semesta alam. Kita tunggu, bagaimana habitus Ramadan ini terlihat pasca Ramadan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun