Mohon tunggu...
Muhamad Mustaqim
Muhamad Mustaqim Mohon Tunggu... Dosen - Peminat kajian sosial, politik, agama

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Dini Itu Bernama Ibu

15 Mei 2018   08:07 Diperbarui: 15 Mei 2018   08:09 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Lifestyle Kompas

"Long life education", pendidikan seumur hidup merupakan salah satu prinsip pendidikan yang digariskan oleh PBB melalui Unesco. Prinsip ini mengisyaratkan bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang berlaku terus menerus sepanjang hidup. Hal ini yang boleh jadi melatar belakangi keberadaan pendidikan anak usia dini yang saat ini sedang menjamur.

Keberadaan pendidkan anak usia dini (PAUD) atau beberapa istilah yang sejenas, seperti play group, taman bermain dan sebagainya tampaknya member wajah baru bagi dunia pendidikan kita. Munculnya model pendidikan dini ini memang memberi andil dalam proses mencerdaskan peserta didik. Mengingat sejak dini, anak sudah dilatih dengan sistem pembelajaran yang memperkenalkan ilmu pengetahuan.

Namun di sisi lain, keberadaan Pendidikan dini ini terkadang mempunyai efek negatif bagi psikologi anak. Karena beberapa pendidikan dini yang saat ini ada, ternyata sudah memperkenalkan program calistung (baca, tulis dan hitung). Padahal usia dini dalam pandangan psikologi perkembangan adalah masa bagi anak untuk bermain. Sehingga pengenalan program calistung dalam pendidikan dini oleh sebagaian pengamat dianggap sebagai "perampasan' dunia anak untuk bermain dan beradaptasi.

Peran Ibu dalam Pendidikan

Sebenarnya dalam sistem pendidikan nasional kita telah mengamanatkan sistem pendidikan secara terpadu. Dalam hal ini, ada tiga jenis pendidikan, formal, informal dan non formal. 

Secara umum, pendidikan informal dapat dipahami sebagai pendidikan yang dilakukan oleh keluarga. Pendidikan informal inilah yang kemudian direpresentasikan dalam model pendidikan dini tersebut, meskipun ada peralihan bentuk menjadi pendidikan formal. 

Ada pergeseran fungsi pendidikan informal yang semula dibebankan pada keluarga, beralih ke lembaga pendidikan dini. Meskipun lembaga pendidikan dini ini memiliki profsionalitas dan kompetensi yang memadahi, namun pertanyaannya adalah mampukan lembaga pendidikan ini menggantikan peran Ibu?

Keluarga merupakan satuan kecil yang mempunyai peran besar dalam pendidikan. Melalui keluarga - khusunya ibu - proses pendidikan hakiki dimulai. Ibu, sebagai pendidik dini mempunyai kompetensi khusus yang tidak dimiliki oleh guru pendidikan dini, yaitu kompetensi "cinta" dan "kasih sayang". 

Kedua kompetensi ini, secara normatif mumgkin saja bisa diberikan oleh guru dan lembaga pendidikan dini, namun secara substansi tetap saja sangat sulit. Adagium, kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah, cukup memberi asumsi betapa ibu mempunyai samudra kasih sayang yang tak ternilai kepada anakknya.

Berikutnya, secara emosional seorang ibu memiliki sense of belonging terhadap anak. Rasa memiliki ini tampaknya juga sulit terganti oleh orang lain. Seorang ibu memberikan seluruh jiwa raganya demi untuk kebaikan anaknya, tanpa pamrih. Perasaan ini akan memberi nuansa pendidikan yang sangat khas, mengingat semua orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Ibu dan anak dipertemukan oleh sebuah ikatan emosional yang dalam, yang mampu membangun interaksi antar keduanya.

Namun, banyak juga ibu yang belum mampu menggunakan peran dan fungsi pendidik dini ini dengan baik. Kesibukan dan pekerjaan boleh jadi menjadi alasan dominan yang dilontarkan untuk tidak mampu meluangkan waktu dalam proses interaksi pendidikan. Itulah yang barangkali menjadi pemicu banyaknya pendidikan dini yang saat ini sangat marak, mengingat tidak semua orang tua, khusunya ibu mampu melakukan fungsi pendidikan dini ini. Namun hal itu tidak berarti seorang ibu melepaskan secara penuh fungsi pendidik dalam keluarga, dengan menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada lembaga pendidikan dini.

Bagaimanapun ibu merupakan sosok pendidik yang tak terganti. Sikap, kepribadian, prilaku dan segala aktifitasnya adalah dimensi pendidikan bagi anak.

Secara kodrati, ibu sudah disetting oleh Sang Pencipta untuk menjadi seorang pendidik bagi anaknya, dengan diberikannya sifat-sifat yang mendukung bagi peran pendidik tersebut. Tuhan telah menganugerahkan kepada kita, seorang ibu yang mampu mewarnai coretan lembar putih dalam jiwa dan kehidupan kita, dengan tanpa mengecilkan peran ayah tentunya. 

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah bersabda yang artinya "Mendidik anak itu lebih baik dari pada bersedekah satu sha' (gantang)". Sedekah kita sebagai orang tua adalah memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak kita. Dan Ibu adalah pendidik dini terbaik yang pernah diciptakan Tuhan di dunia ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun