Drama penyandraan polisi oleh para teroris di Mako Brimob beberapa waktu lalu menandakan bahwa terorisme masih ada di negeri ini.
Kerusuhan para napi terorisme yang berujung "pembantaian" terhadap para polisi yang bertugas menunjukkan bahwa para teroris ini tidak segan-segan melakukan penganiayaan, penyiksaan bahkan penghilangan nyawa sekalipun. Dan para napi ini tidak sedikit yang merupakan para terpidana tindak pidana terorisme, yang sering kali dibekali dengan doktrin agama yang radikal.
Sebagaimana diketahui, beberapa aksi teror bom, Â para pelaku kerap kali teridentifikasi mempunyai afiliasi dengan jaringan "aliran agama" tertentu.
Bahkan beberapa testimoni dari para pelaku, seakan menegaskan bahwa apa yang mereka lakukan dilatarbelakangi motif agama. Aksi teror yang mereka lakukan dipahami sebagai sebuah panggilan "suci" jihad di jalan Allah. Ada sebuah keyakinan yang mengkristal, bahwa ketika mereka mati, maka balasan surgalah yang akan mereka dapatkan.
Memang, beberapa pengakuan dari para pelaku bom, mengisyaratkan adanya keyakinan agama yang menggerakkan aksi tersebut. Bahkan istilah "pengantin" digunakan untuk mereka yang nenjadi operator bom, dengan tujuan syahid.
Beberapa analisis menyebutkan bahwa adanya brain washing, pencucian otak menjadi pengkondisian untuk menginstal pemikiran dan perilaku para eksekutor. Dan anak mudalah yang biasanya dipilih untuk menjadi pengantin, khususnya mereka yang pola keagamaannya masih dangkal.
Sampai sini, mengaitkan perilaku kekerasan atau teror dengan pemahaman keagamaan memang tampaknya menjadi sesuatu yang naif. Namun fakta membuktikan bahwa pola pemahaman agama yang "salah" seringkali melahirkan praktik agama yang berbasis kekerasan. Dan pola pemahaman inilah yang kiranya menjadi perhatian kita bersama untuk diluruskan.
Pada dasarnya kita memahami dan toleran terhadap segala bentuk perbedaan dalam pemahaman keagamaan. Namun pemahaman itu tentu saja masih dalam tataran yang wajar, yakni tidak bertentangan dengan tujuan risalah agama itu sendiri. Kalau begitu, diperlukan parameter bagaimana pemahaman agama yang sesuai dengan hakekat dan tujuan agama itu sendiri.
Dalam Islam, banyak teks yang menyebutkan bahwa Islam diturunkan untuk tujuan damai. Nama Islam sendiri mempunyai derivasi makna kedamaian, keselamatan, ketertundukan yang semuanya mengacu pada kebaikan.
Dalam salah satu ayat ditegaskan, bahwa tujuan diutusnya Rasul sebagai pembawa misi Islam adalah unyuk membawa rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil'alamin). Rahmat sering diartikan dengan cinta kasih, kasih sayang, kedamaian dan kebahagiaan. Nah inilah parameter yang dimaksud, bagaimana pola keagamaan mampu mewujudkan tujuan risalah ini.
Tujuan risalah Islam, jika di-breakdown akan melahirkan apa yang disebut maqhasid al-syariah, atau tujuan syariah Islam.
Dalam kajian ushul fiqih, ada lima hal yang menjadi pilar dalam tujuan syariah, yakni melindungi agama (hifdl al-din), melindungi jiwa (hifdl al-nafs), melindungi harta (hifdl al-mal), melindungi akal (hifdl al-aql) dan melindungi keturunan (hifdl al-nasl). Kelima asas ini harus menjadi prinsip dalam pelaksanaan perilaku beragama. Aktifitas atau perilaku agama, tidak boleh bertentangan dengan kelima konsep dasar tujuan syariah ini.
Implikasinya, jika ada pola pemahaman tertentu yang bertentangan dengan tujuan risalah, maka bisa dipastikan bahwa pemahaman tersebut tidak relevan.
Kaitanya dengan fenomena teror bom dan kekerasan, maka hal tersebut jelas bertentangan dengan maqhasid syariah tersebut, bahkan kelima-limanya. Kalau toh mereka berdalih untuk menegakkan agama, namun dalam realitanya penegakan agama tersebut justru malah meruntuhkan agama.
Faktanya, Islam menjadi bulan-bulanan media, sebagai agama yang dekat dengan terorisme. Betapa stigma, pelabelan, prejudice bahwa Islam adalah teroris menjadi paradigma orang non-muslim dalam memandang Islam.
Di Negara-negara nonmuslim, khususnya Barat, ketakutan terhadap islam (islamophobi) sangatlah kuat. Hal ini kiranya sangat merugikan Islam dan ummat islam secara umum.
 Islam adalah agama yang menjunjung tinggi perdamaian. Islam sangat menolak kekerasan, penindasan atau penghilangan nyawa. Jikalau Islam mengenal konsepsi perang, hal itu tidak lain adalah dalam rangka melindungi dan mempertahankan diri, serta untuk misi perdamaian. Menghilangkan nyawa, adalah perilaku yang bertentangan dengan maqhasid syariah. Sehingga Islam secara tegas dalam sebuah ayat menyatakan bahwa barang siapa membunuh satu jiwa, tanpa alasan yang jelas maka seakan-akan membunuh seluruh manusia. Terorisme, dengan apapun dalih dan argumentasi, tidak bisa dibenarkan, dan merupakan musuh agama Islam itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H