Mohon tunggu...
Muhamad Mustaqim
Muhamad Mustaqim Mohon Tunggu... Dosen - Peminat kajian sosial, politik, agama

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebelum Keringat Buruh Kering

5 Mei 2018   13:44 Diperbarui: 5 Mei 2018   13:54 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto: Ilustrasi: Kiagoos Auliansyah) - detik.com

Tahun ini  merupakan  tahun kelima, sejak ditetapkannya 1 Mei sebagai hari libur nasional. Namun, tetap saja aksi peringatan hari buruh senantiasa menjadi ritual tahunan bagi para buruh. Seakan menjadi problem abadi buruh di Indonesia, tahun ini diramaikan dengan fenomena tenaga kerja asing (TKA) yang telah menjadi isu nasional dan direspon melali Perpres, di samping isu tentang kenaikan upah dan penurunan harga kebutuhan pokok seperti beras dan BBM. 

Hanya saja, tahun ini aksi buruh banyak yang bernuansa politik, misalnya dengan menolak atau mendukung calon presiden tertentu.

Satu lagi isu yang tidak pernah lepas dari aksi hari buruh, yakni problem buruh kontrak dan outsourcing. Memang, sangat sulit untuk mengurai dan menyelesaikan problem outsoursing ini. Mengingat persoalan outsourcing bukan hanya persoalan pengusaha dan buruh semata, lebih dari itu merupakan persoalan yang kompleks yang melibatkan beberapa aspek kehidupan lainnya, seperti demografi, sosial, ekonomi, budaya, politik dan lainnya.

Faktor demografis misalnya, ledakan jumlah penduduk yang meningkat tajam jelas melahirkan angkatan kerja yang tinggi. Tingginya angka angkatan kerja yang tidak diimbangi dengan lapangan kerja, tentu akan melahirkan disparitas yang lebar antara permintaan dan persediaan kerja. Yang terjadi kemudian, lemahnya daya tawar bagi angkatan kerja. Hal ini berbanding lurus dengan posisi pengusaha (baca:pemilik kerja) yang berada pada posisi yang tinggi, sehingga mempunyai posisi selektif yang kuasa. 

Fenomena ini terang saja dimanfaatkan oleh pemilik kerja untuk memperlakukan para pekerja sesuai dengan keinginan perusahaan. Rumusnya sederhana, berikan hak serendah-rendahnya kepada pekerja, supaya perusahaan bisa untung besar.

Fenomena outsourcing sebenarnya lahir dari cara pikir kapitalis, di mana efisiensi dan keuntungan menjadi pilar penyangga utamanya. Sistem kerja kontrak dalam hal ini jelas akan memangkas berbagai hak dan fasilitas yang seharusnya melekat pada diri pekerja. Dengan didukung faktor demografis di atas, maka system kerja kontrak menjadi sebuah keniscayaan yang tak tertawar. Buktinya, meskipun dengan system kerja kontrak dengan hak yang sangat terbatas, masih banyak para calon pekerja yang berebut untuk mendapat pekerjaan.

Sampai sini, maka mengurai benang kusut problem perburuhan hampir mustahil bisa dilakukaan. Karena ini bukan hanya persoalan goodwill pemerintah saja, namun ada tangan gaib yang membimbing praktek outsourcing tersebut. Dan ini, sebagainana dogma ekonomi klasik, adalah sebuah keniscayaan dalam mencapai equilibrium, titik keseimbangan pasar.

Di sinilah kiranya, perlu kesadaran transenden bagi para pengusaha untuk memperlakukan pekerja sesuai dengan harkat dan martabatnya. Adalah Rasulullah SAW yang memerintahkan ummatnya agar membayar pekerja sebelum keringatnya kering. 

Sebelum keringat kering ini mengandung maksud bahwa kita harus menghargai buruh. Bukan hanya karena tenaga, namun lebih karena mereka adalah mitra dalam bekerja atau berbisnis. Membayar buruh sebelum keringat kering berarti memberikan hak-hak buruh sesegera dan semaksimal mungkin. Karena dalam keringat buruh tersebut terdapat tanggung jawab dan kewajiban kita.

Ajaran tentang 'sebelum keringat kering' kiranya menjadi spirit bersama dalam rangka memposisikan pekerja itu sebagai kolega, bukan sebagai budak yang bisa dieksploitasi. Lebih jauh, membiarkan keringat buruh bercucuran jatuh, tanpa diimbangi dengan pemberian hak adalah sebuah kedzaliman. 

Sebagai Negara berkembang yang ditandai dengan era industri, maka buruh menjadi pilar utama bagi pertumbuhan perekonomian suatu bangsa. Sehingga, bangsa yang besar tentu saja adalah bangsa yang menghargai jasa para buruh atau pekerjanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun