Mohon tunggu...
Muhamad Basri
Muhamad Basri Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengangguran

Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ngapunten Mak-Pak, Anakmu Gak Lulus-lulus

31 Oktober 2018   07:15 Diperbarui: 1 November 2018   10:05 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maksud hati ingin membahagiakan mereka yang dimulai dari mendaftarkan diri ikut seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri. Tidak disangka ternyata saya dinyatakan lulus. Sebagaimana kehidupan orang didesa, menjadi barang langka seorang anak petani masuk perguruan tinggi. Lulus SMA saja sudah bersyukur, apalagi masuk perguruan tinggi, itu urusan nomor sekian. Lulus SMA cari kerja terus nikah.

Anak mana yang tidak ingin membahagiakan orang tuanya, anak mana yang tidak ingin mengangkat derajat orang tuanya. Adalah keutaman bagi anak untuk kedua hal itu. adapun wujud dari kedua hal tersebut tidaklah sama antara satu dengan yang lainnya. 

Ada yang bahagia dengan melihat sang anak mendapatkan pekerjaan yang layak, ada yang merasa terangkat derajatnya dengan anaknya menjadi penghafal Al'quran, dan masih banyak lagi termasuk kebahgiaan dan ketinggian derajat karena anaknya menjadi seorang sarjana. Semua kembali lagi kepada titah sang orang tua kepada anaknya.

Saya adalah orang desa yang bercita-cita setinggi langit. Menjadi anak yang bisa membuat orang tua tersenyum bahagia di hari penobatanku menjadi wisudawan kelak. 

Berangkat dari optimisme, tekad yang bulat seperti tahu bulat, semangat membara bagai bara api, niat yang mulia bak politikus berkampanye, yaitu menjadi seorang mahasiswa. 

Dari sebuah desa yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan gemerlap kota yang tidak pernah mati lampu. Jauh dari jalan aspal yang mulus, saya memulai langkah kecil saya.

Dibesarkan di lingkungan masyarakat desa yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani, begitu juga dengan orang tua saya. hal yang lazim bagi seorang petani yang berangkat ladang di pagi buta dan pulang saat mentari mulai melambaikan tangan tanda malam akan tiba. 

Mereka tanpa kenal lelah bekerja untuk anak-anaknya, untuk membeli susu, untuk membeli mainan, juga untuk membeli perlengkapan sekolah saat saya sudah mulai mencicipi pojok bangku sekolah dasar. 

Sejak kecil saya sudah merepotkan mereka terlepas bahwa menafkahi seorang anak adalah kewajiban sebagai orang tua.

Untunglah pendidikan formal saya dari TK sampai SMA saya tamatkan di lingkungan tempat tinggal saya dan saudara-saudara saya lahir dan tumbuh sehingga biaya untuk sewa kamar kos dan transportasi tidak ada dalam daftar pengeluaran ibu. 

Dari pertama kali saya sekolah sampai dengan SMA merekalah yang membiayai saya dengan ikhlas tanpa pamrih. 

Mungkin hanya ada satu pamrih mereka, menuntut kepada anak-anaknya untuk memiliki kehidupan yang lebih baik daripada mereka, memiliki pendidikan yang lebih baik daripada mereka, dan yang pasti tidak ingin melihat anak-anaknya tidak bisa tersenyum.

Singkat cerita, tidak terasa batas waktu yang telah diberikan oleh kampus  selama empat tahun melalui beasiswa untuk saya sudah dalam titik nadir yang artinya saya harus segera menyelesaikannya. 

Sepanjang waktu itu, perekonomian keluarga sudah banyak terbantu oleh kebijakan pak SBY pada waktu itu yang memberikan bantuan biaya pendidikan untuk anak negeri yang memilki potensi namun terbentur oleh kondisi perekonomian yang kurang baik semacam anak petani yang penghasilannya tidak menentu. 

Jadi orang tua dirumah sudah sedikit berkurang untuk berpikir ekstra untuk membiayai kuliah saya, mereka hanya tinggal memikirkan biaya makan dan keperluan lainnya seperti membeli buku. 

Sebenarnya diksi hanya tinggal tetap tidak pantas diucapkan, sebab terkesan mempekerjakan atau memaksakan kehendak kepada mereka untuk mencukupi kebutuhan saya, tapi begitulah realitasnya.

Wajah mereka yang ayu dan tampan sudah keriput termakan usia, banting tulang bekerja untuk mengirimkan anakmu ini lembaran kertas rupiah. 

Engakau takut kalau anakmu yang berada jauh diperantauan kelaparan, engkau takut anakmu disana tidak bisa membeli buku pelajaran, dan takut-takut yang lainnya. 

Tenanglah bu-pak. Jangan khatir, saya disini baik-baik saja bersama dengan doa-doa yang engaku panjatkan setiap waktu.

Sudah tidak ada lagi waktu untuk saya bermalas-malasan diatas kasur. Akan saya tuntaskan pergumulan ini, pergumulan dengan ilmu pengetahuan, dan pergumulan dengan aktivitas organisasi. 

Tidak ingin lagi saya membebani mereka dengan berlama-lama dikampus. Malu rasanya ketika saya mengingat perjalanan hidup ini karena selalu membabani mereka. 

Membebani dalam segala hal, bahkan sampai urusan akhirat pun membebani mereka dengan doa-doa yang mereka panjatkan untuk saya. 

Hari pun saya masih membebani mereka dengan tidak segera lulus dari perguruan tinggi. Satu yang ingin saya ucapkan dihadapan mereka, Ngapunten Mak-Pak , anakmu gak lulus-lulus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun