Mohon tunggu...
Muhamad Basri
Muhamad Basri Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengangguran

Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Aksesbilitas Pemilu

15 September 2018   07:00 Diperbarui: 15 September 2018   08:29 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: arsip.rumahpemilu.org

Demokrasi yang sampai hari ini masih relevan kita maknai sebagai sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Indonesia adalah negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi tentu tidak dapat dipisahkan dari Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilu adalah ruh dari sistem demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Disebuah negara dengan sistem demokrasi adalah sebuah keniscayaan untuk memilih secara langsung pemimpinnya.

Pemilu adalah implementasi dari kadaulatan rakyat yang menjadi tuan dari demokrasi. Dalam sistem ini rakyat diberikan kebebasan untuk memilih dan dipilih atas dasar UUD 1945.  

Secara lebih khusus kita memahami Pemilu sebagai proses untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, dan DPRD, Gubernur dan Wakil Gubernur, bupati/ wali kota dan wakil bupati/ wakil wali kota. UU Nomor 7 Tahun 2017 mendefinisikan Pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan perwakilan Rakyat, anggota Dewan perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam pelaksanaannya, pemilu diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bertugas sebagai badan/ lembaga non kementerian dalam melakukan kegiatan pemilu mulai dari tahap paling awal yaitu merencanakan program, anggaran, dan jadwal hingga tahap akhir yaitu pengumuman calon  DPR, DPD, dan DPRD, dan Pasangan calon terpilih hingga pelantikan. Pemilu diselenggarakan dengan prinsip langsung, umum, bebas, rahasais serta jujur dan adil atau LUBER JURDIL.

Memilih dan dipilih adalah hak bagi setiap warga negara termasuk mereka yang menyandang keterbatasan fisik atau disabilitas. Penyendang disabilitas tentunya membutuhkan perlakuan serta fasilitas yang berbeda dengan individu pada umumnya (normal). Hal ini yang kemudian pemerintah memberikan payung hukum kepada penyandang disabilitas melalui UU Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. UU tersebut memuat tentang penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas.

Konstitusi secara umum memberikan jaminan persamaan dan keadilan kepada setiap warga negaranya tanpa terkecuali. Pasal 27 ayat (1) berbunyi "segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya." Pasal 28 menyatakan, "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang."

Perubahan UUD 1945 meneguhkan hak-hak warga negara dengan ketentuan lebih rinci. Pasal 28D ayat (3) menyatakan, "Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan." Lalu Pasal 28E ayat (3) menegaskan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Lebih khusus lagi yaitu UUD 1945 pada pasal 28H ayat 2 yang menyatakan bahwa "setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk mencapai kesempatan dan manfaat yang sama guna memcapai persamaan dan keadilan." Kemudian ditegaskan dengan pasal 28I ayat 2 "setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak untuk mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu."

Penulis memahami Disabilitas sebagai suatu bentuk keterbatasan individu untuk mengakses fasilitas publik. UU Nomor 8 Tahun 2016 pasal 1 meyebutkan bahwa Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak (kesetaraan).

Atas dasar hal-hal tersebut di atas itulah kemudian pemerintah dan KPU dalam membuat aturan tentang penyelenggaraan pemilu harus memperhatikan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas mulai dari pendataan, pemungutan, hingga perhitungan dan rekapitulasi.

Meskipun begitu, diskriminasi terhadap penyandang disabilitas masih saja terjadi sampai hari ini. Diskriminasi ini dengan rinci disebutkan di dalam Buku yang diterbitkan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dalam Laporan Kajian Program Kodifikasi Undang-Undang Pemilu, Sekretriat bersama Kodifikasi Undang-Undang Pemilu tahun 2015. Ada empat pokok masalah dalam aksesibilitas pemilu yaitu (1) pendaftaran pemilih masih belum dapat mencacat jumlah dan jenis penyandang disabilitas yang berimplikasi pada banyaknya warga negara disabilitas dalam menggunakan hak pilihnya; (2) dalam pencalonan anggota legislatif cukup akses bagi warga penyandang disabilitas

Namun tidak demikian halnya dalam pencalonan pejabat eksekutif dan penyelenggara pemilu; (3) kampanye tidak banyak membantu pemilih disabilitas untuk mengakses informasi visi, misi, dan program partai politik dan calon; dan (4) dalam pemungutan suara tidak tersedia fasilitas dan layanan yang mencukupi untuk membantu pemilih disabilitas. Keempat masalah tersebut terentang dari undang-undang, peraturan teknis, hingga operasional di lapangan.

Tahun 2015 yang lalu telah diselenggarakan pilkada serentak seluruh Indonesia di 8 provinsi, 170 kabupaten,  dan 26 Kota (Baca: detik.com). Lampung sendiri terdapat delapan daerah kabupaten/ kota yang melaksanakan pilkada serentak dan kebetulan Kapupaten Lampung Tengah termasuk didalamnya yang juga merupakan kabupaten domisili penulis.

Waktu itu penulis datang ke TPS untuk memberikan hak suaranya sebagai bentuk partisipasi. Setelah memberikan hak suaranya penulis tidak langsung pulang karena masih ada tugas dari dosen yang harus diselesaikan yaitu membuat laporan dokumentasi pelaksanaan pilkada serentak. 

Lokasi yang menjadi TPS pada waktu itu terletak di salah satu ruangan di gedung sekolah setempat (lingkungan tempat tinggal penulis). Kebanyakan gedung sekolah memiliki selokan dan undakan serta dibangun hampir tidak memperhatikan aksesibilitas penyandang disabilitas terlebih lagi jika sekolah tersebut adalah sekolah umum atau bukan sekolah khusus (SLB). Fasilitas yang tersedia di sana hanya berupa pengeras suara, paku yang digunakan untuk mencoblos, bilik pencoblosan, dan tempat duduk pengantre, sedangkan yang lainnya seperti layar monitor yang menampilkan nomor urut atau alat bantu yang dibutuhkan oleh penyandang disabilitas tidak terdapat disana.

Bagi penyandang disabilitas ganda atau tunagrahita (tidak memiliki tangan/ kaki bahkan keduanya sekaligus) atau yang menggunakan kursi roda, tentu kondisi TPS tetsebut tidaklah akses, begitu juga dengan jarak antar bilik yang berdekatan serta tinggi meja yang normal (tidak lebih pendek/ khusus) akan menyulitkan mereka untuk mengaksesnya. Kemudian paku yang digunakan untuk mencoblos juga terlihat berkarat yang tentu tidak aman bagi kesehatan mereka.

Penyandang disabilitas Tunarungu hanya pada indera pengelihatannya saja, karena pada umumnya orang yang tersebut dapat membaca dan berbicara. Bagaimana PPS memanggil atau memberi tahu kepada mereka sedangkan PPS tidak punya kapasitas untuk memberi tahu dengan menggunakan bahasa isyarat, begitu juga dengan tunarungu yang tidak semua dari mereka mengerti bahasa iyarat. Bukan hanya itu saja, saat kampanye oleh paslon mereka juga kesulitan untuk mengatahui apa visi dan misi dari paslon yang mencalonkan diri, sehingga mereka tidak punya pertimbangan yang logis untuk menentukan pilihan. Partai politik yang dalam hal ini adalah pemain tunggal, juga kurang memperhatikan penyandang disabilitas, partai-partai tersebut seaakan abai dengan mereka.

Lalu bagaimana dengan tunanetra? Dalam hal ini tunanetra adalah penyandang disabilitas yang paling tidak terakomodir saat pemilu. Alat indera yang dapat mereka andalkan adalah pendengaran dan peraba. Kesulitan yang mereka hadapi yaitu pada tahap pemungutan suara. Pada tahap ini mereka akan cukup kesulitan untuk menggunakan hak pilihnya karena sampai hari ini KPU belum pernah menerbitkan surat suara yang juga dapat dibaca oleh penyandang tunanetra. Alternatif yang dilakukan oleh KPU adalah pada tataran teknis yaitu dengan memberikan pendampingan yang dilakukan oleh PPS, itu artinya mereduksi prinsip kerahasiaan dalam pemilu.

Padahal permasalahan paling krusial yang dihadapai oleh penyandang disabilitas adalah ketika berada pada tahapan pemungutan suara. Apakah tahap ini akses atau tidak terhadap penyandang disabilitas? Pengertian umum aksesibilitas adalah derajat kemudahan dicapai oleh orang, terhadap suatu objek, pelayanan ataupun lingkungan. Kemudahan akses tersebut diimplementasikan pada bangunan gedung, lingkungan dan fasilitas umum lainnya. Aksesibilitas juga difokuskan pada kemudahan bagi penyandang disabilitas untuk menggunakan fasilitas seperti pengguna kursi roda harus bisa berjalan dengan mudah di trotoar ataupun naik keatas angkutan umum (baca: aksesibilitas pemilu).

Hemat penulis tahap ini dapat dikatakan sebagai indikator apakah pemilu tersebut memiliki aksesibilitas tinggi atau rendah bahkan sama sekali tidak aksesibel terhadap penyandang disabilitas. Untuk itu, perlu dialakukan sinergisitas dari para pemangku kepentingan yaitu pemerintah sebagai pembuat UU, KPU sebagai penyelenggara, dan kelompok penyandang disabilitas sebagai warga negara yang memiliki hak memilih dan dipilih untuk kemudian menghasilkan diskursus pemilu yang beraksesibilitas tinggi yang setara dan bebas diskriminasi.

Bagaimanapun penyandang disabilitas adalah warga negara yang memiliki hak yang sama dengan warga negara lain atas dasar UUD 1945 dan melekat pada setiap individu sejak ia dilahirkan yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, setiap warga negara tidak memiliki kekuasa dan kewenangan untuk membatasi atau bahkan menghilangkan hak warga negara lain yang berdaulat dengan dalil apapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun