Mohon tunggu...
Muhamad Basri
Muhamad Basri Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengangguran

Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ajaran Toleransi dalam Sebatang Kretek

14 September 2018   07:00 Diperbarui: 15 September 2018   02:48 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Orang indonesia tentu sudah akrab dengan kretek terutama simbah-simbah kita yang selalu ngebul dengan kretek. Semasa simbah saya masih hidup, beliau selalu ngebul dengan kretek. Suatu waktu lintingan atau bahan baku membuat kretek yang dimilikinya habis, saya tawari simbah dengan rokok filter yang kekinian. Namun itu ditolak dengan tegas oleh simbah. Kata beliau "rokok opo kui, ora enak blas".

Sejarah Singkat Kretek

Kretek dalam sejarahnya dimulai dari tahun 1600an yang oleh pedagang portugis dibawa ke pulau jawa. Asbabunnuzul kata tembakau sendiri adalah turunan dari bahasa potugis "Tumbaco" yang dalam bahasa inggris yaitu "Tobacco". Dalam perjalanannya, ada dua orang yang memiliki peran dalam lahirnya kretek yaitu Haji Djamari dan Mbok Nasilah. Keduanya memiliki kisahnya masing-masing dalam melahirkan kretek. (baca: komunitaskretek.or.id)

Haji Djamari yang pada masanya mengalami sakit di bagian dada, lalu beliau mengoleskan minyak cengkeh pada bagian yang sakit tersebut. Dan tidak disangkan oleh beliau sakit pada bagian dadanyapun mereda. Kemudian Haji Djamari berinisiatif untuk mencampurkan cengkeh dengan tembakau, dilinting menjadi rokok. Secara rutin beliau menghisapnya hingga merasa sakit dada yang dideritanya hilang. Kabar inipun dengan cepat menyebar ke masyarakat seteleh beliau menceritakannya kepada kerabat-kerabat. Dari situ beliau mulai banyak menerima pesanan rokok yang disebut dengan rokok obat.

Sedangkan Mbok Nasilah juga dianggap sebagai orang yang menciptakan kretek. Kisahnya berawal dari rasa terganggu dengan ludah yang dikeluarkan oleh para kusir yang nginang. Mbok Nasilah memiliki sebuah warung yang kebetulan dijadikan tempat mangkal para kusir tersebut, pada masa itu belum ada rokok yang ada yaitu nginang.

 Kemudian beliau mencoba menggantikan kebiasaan para kusir tersebut dengan rokok. Upayanya ini ternyata berhasil karena rokok racikan beliau adalah campuran dari cengkeh dan tembakau lalu dibungkus dengan daun jagung kering (klobot) kemudian diikat dengan benang. Dua orang yang menurut penulis adalah inisiator lahirnya kretek hingga menjadi rokok kebanggaan Indonesia yang mendunia karena citarasa dan aromanya yang khas rempah-rempah.

Toleransi

Secara sederahana penulis memahami toleransi sebagai salah satu cara untuk memanusiakan manusia. Mengapa? Toleransi bagi penulis merupakan hal yang fundamental diterapkan ditengah masyarakat Indonesia yang plural yang beragam. Toleransi dikalangan masyarakat Indonesia dipahamai sebagai tenggang rasa atau saling menghargai antar individu.

 KBBI mengartikan tolerasi sebagai sifat atau sikap toleran yang kemudian toleran diterjemahkan sebagai bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Indonesia dengan sistem pemerintahan demokrasi tentu membutuhkan lebih banyak sikap toleransi. Demokrasi tidak akan disebut demokrasi ketika masyarakatnya tidak terbuka terhadap dikritik atau bahkan anti kritik. Disitu toleransi hadir dan berperan untuk menciptakan iklim demokrasi yang kondusif. Toleransi menciptakan keharmonisan dinamika dalam kehidupan demokrasi yaitu antara kritik dan kebebasan berpendapat. Seperti dalam banyak tulisan Gus Dur, penulis menyimpulkan bahwa demokrasi dan toleransi sudah semestinya saling melengkapi. Tidak bisa kemudian mereka berjalan secara sendiri-sendiri. Itu poinnya.

Ajaran Toleransi Dalam Sebatang Kretek

Kretek adalah litingan yang terbuat dari racikan tanaman tembakau dan cengkeh yang kemudian dibungkus dengan kertas, daun, atau kulit jagung yang berbentuk silinder. Dalam perkembangannya, kretek mulai berinovasi yaitu dengan menambahkan filter yang dalam bahasa indonesia adalah penyaring yang langsung bertemu dengan bibir perokok.

Budaya nusantara memahami kegiatan merokok sebagai suatu metode dalam berkomunikasi, metode bergau, dan menjadi tren. Kretek dapat dengan mudah mencairkan suasana diantara mereka yang belum saling menganal. Dalam keheningan ketika berada di sebuah warung kopi tanpa ada seorangpun yang kita kenal, kretek adalah media yang tepat untuk kita mendapatkan teman bicara. Dalih memincam  korek sudah cukup kita jadikan sebagai pemanntik percakapan antar manusia yang tak saling kenal.

Budaya orang Indonesia akrab dengan kretek, apalagi mereka yang hidup di daerah pedesaaan yang dingin dikala embun masih menyelimuti, kretek setia menemani. Petani yang hendak berangkat kesawah berjalan sambil menghisap kretek hasil karyanya sendiri dengan penuh hayat. Disela-sela waktu bekerja kretek jugas masih setia membersamai dengan asapnya yang pekat menggumpal dan bunyi yang khas ketika dihisab "kretek... kretek... kretek..."

Eksistensi kretek bukan hanya ada pada budaya masyarakat pedesaan saja. jajaran tokoh-tokoh revolusioner seperti presiden Soekarno, penulis buku fenomenal tetralogi pulau buru Pramoedya Ananta Toer, budayawan Sujiwo Tejo, sastrawan Cak Nun juga akrab dengan kretek. Kesibukan profesi masing-masing dari mereka, masih sempat menyelipkan sebatang kretek ditangannya. Hal ini dapat kita jumpai dalam vidio-vidio yang banyak beredar di youtube.

Lalu dimana letak toleransinya? Begini, penulis terangkan pelan-pelan. Dunia mendeklarasikan perang terhadap kretek berawal dari laporan seorang ilmuwan Pharmacia yang bernama Surgeon General C. Everett Koop tahun 1988, "Dampak Kesehatan Merokok: Kecanduan Nikotin." Itu yang menjadi dasar utama terhadap larangan dan kampenye anti rokok oleh WHO sampai hari ini oleh. Hal itu kemudian berkembang dan mengintervensi kebijakan negara-negara seluruh dunia termasuk Indonesia. Mulai dari menaikan harga cukai hasil tembakau, pajak, dan larangan merokok ditempat-tempat umum.

Hari ini kita tau harga rokok mengalami kenaikan besar-besaran hingga seratus persen yang merupakan dampak dari dinaiknnya cukai hasil tembakau dan pajaknya. Hal ini ditujukan agar mengurangi jumlah konsumsi rokok. Begitu juga dengan larangan merokok ditempat umum. Ini yang penulis sebut sebagai intoleransi atas hak individu.

Dalil utama atas larangan merokok di tempat umum tidak lain yaitu mengganggu individu lain yang tidak merokok. Selalu dalil ini yang digunakan oleh mereka yang mengkampanyekan anti rokok. Mereka yang melarang berpendapat bahwa merokok adalah suatu kebiasaan buruk yang harus dihentikan. 

Mereka juga berdalih bahwa merokok juga suatu bentuk pemborosan finansial, uang yang seharusnya dapat digunakan untuk hal lain malah digunakan untuk membeli rokok. Tapi mereka tidak pernah tau nikmat yang ada dalam setiap hisapan. Mereka hanya tau asap yang dihasilkan tidak baik untuk kesehatan manusia tanpa pernah merasakan manfaatnya.

Bagi perokok, merokok ditempat umum memiliki sensasi tersendiri apabila dibandingkan dengan di kamar mandi ketika BAB. Para perokok yang kebanyakan adalah laki-laki akan merasa lebih PD apabila kebiasannya ini dilakukan ditempat umum. Dan tidak lupa, ada prestis (gengsi) juga di dalam setiap fariasi hisapan dan seberapa pekat asap yang dikeluarkan dari mulut mereka. Semakin berfariasi gaya menghisap mereka semakin percaya dirilah dia.

Rasa-rasa itu yang tidak akan pernah dirasakan bahkan tidak diketahui oleh mereka yang menyatakan perang terhadap rokok. Kalau memang tidak merokok silakan saja, tetapi jangan mengatakan A, B, C, D, dan E untuk melarang orang lain merokok ditempat umum. Begitu pula sebaliknya, para perokok tidak pernah memaksa untuk merokok. 

Kalau memang tidak bisa terkena asap rokok kan mudah, tinggal menjauhlah. Tidak perlu menggunakan dalil macam-macam untuk itu. Perokok punya hak untuk merokok, juga dengan yang tidak merokok, sama-sama punya hak. Disitulah secara implisit ajaran toleransi didalam sebatang kretek.

 Saling menghargai antara yang merokok dengan yang tidak merokok lebih utama daripada kita memaksa kehendak dengan menyatakan "mas jangan merokok ditempat umum dong, asapnya mengganggu orang lain". Larangan merokok ditempat umum baru-baru ini saja terjadi seperti yang penulis bahas diatas. Namun budaya orang menghisap kretek sudah ada jauh sebelumnya itu. Secara radikal penulis menyatakan itu dapat dikategorikan sebagai gerakan radikalisme terhadap perokok.. hehehe...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun