Mohon tunggu...
Muhamad Nurdin
Muhamad Nurdin Mohon Tunggu... Penulis - Mari Sama-sama Menjadi yang Terbaik

Mari Sama-sama Menjadi yang Terbaik

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Sepenggal Pengalaman Religius di Suatu Ramadan

21 April 2024   17:44 Diperbarui: 21 April 2024   17:58 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepenggal Pengalaman Religius Disuatu Ramadan

 

 

Kala hari mulai senja, sore itu saya menyempatkan diri untuk berbuka puasa disuatu pujasera di kota Bandung, tidak ada yang luar biasa sebenarnya, berjalan seperti orang yang berbuka puasa. Tapi bila dikatakan sederhanapun nampaknya tidak juga. Ada  pengalaman unik yang ingin kutulis dalam artikel yang sederhana ini.

Dengan tenang kusantap nasi goreng yang kupesan. Sesekali kunikmati juga segelas air manis yang ada didepanku. Memang benar kata para kyai yang selalu memberikan ceramah agama dimimbar-mimbar masjid. Bahwa kenikmatan orang yang berpuasa adalah saat kita akan berbuka.

Saat enak-enaknya menikmati nasi goreng, tiba-tiba saja saya dikejutkan dengan kehadiran bocah kecil. Waktu saya menoleh kepadanya, kupandang wajah  anak laki-laki yang lugu, umurnya sekitar 8 tahunan. Anak laki-laki itu membawa mangkuk pelastik, yang sesekali digosok-gosok. Dia berucap lirih didepanku, Om, kasihan, minta recehannya buat makan.

Sepontan kupandangi wajah yang lugu tersebut, berbarengan dengan itu saya sempat teringat kepada sajak karangan Sa'di Siradzi, 

 

Bila anak yatim menangis, siapa menghalau duka citanya?

Bila perasaannya tak terkendali, siapa yang peduli pada berangnya?

O, jagalah jangan sampai dia menangis, pastilah singasana Tuhan,

akan terguncang, karena rintih anak yatim yang pilu,

Dengan belas kasihan tiada terbatas, dengan kasih sayang yang lembut,

Sekalah  air matanya, kibaskan debu dari rambutnya.

 

Saya belum bisa mengerjakan seperti yang dianjurkan oleh Sa'di pada sajak tersebut diatas. Terus terang saya malu mengakui hal ini. Keinginanku saat itu adalah ingin mengelus kepalanya, dan memberikan nasihat berharga untuknya. Tapi itupun tidak saya lakukan, yang kulakukan justru memberikan uang recehan, seperti yang diminta olehnya.

Setelah anak itu berlalu pikiranku melayang-layang pada sebuah kisah atau cerita-cerita tentang Khulafaur Rasyidin. Mereka begitu memperhatikan para kaum dhuafa, mereka mau menyamakan dirinya yang miskin, dengan keadaan rakyatnya yang lemah, sebuah contoh yang perlu kita teladani. Sehingga mereka orang miskin tidak tersengat dengan kemiskinannya.

Begitu indah perhatian dan belas kasihan yang mereka tunjukan kepada orang miskin, seindah saat puasa di bulan Ramadan ini. Mungkin inilah puasa ramadan, berpuasa menahan lapar dan haus, merasakan akibat pengekangan nafsu-nafsu kita, yang pada akhirnya melahirkan  kepedulian kepada orang miskin, dengan jalan mengeluarkan zakat fitrah. Suatu perasaan yang indah, tentram, bening dan fitri.

Sayangnya kita hanya bisa merasakan perasaan tersebut hanya pada bulan ramadan saja. Mengapa? Karena kita sering kali memaknai bulan ramadan sebagai bulan terbaik untuk beramal. Padahal pada bulan-bulan selanjutnya itulah yang harus kita lakukan, bukankah bulan selanjutnya adalah bulan peningkatan amal? Seharusnya kefitrian dan kesegaran bulan ramadan harus dirasakan juga pada bulan selanjutnya.

Ya Allah alangkah indahnya hari-hari dunia.

Setelah selesai makan, saya moncoba untuk segera pulang. Akan tetapi langkahku terhenti manakala dibelakangku, ada bocah perempuan memegang punggungku, seraya dengan berani dia menatap wajahku, dengan menengadahkan tangan  seraya berucap minta dikasihani.

Dalam hitungan menit saya dikejutkan dengan dua kejadian yang ganjil. Pertama dengan bocah laki-laki yang polos, lugu dan pemalu, sehingga menimbulkan belaskasihan. Yang kedua, seorang anak perempuan yang polos, namun agresif dan menimbulkan kecurigaan.

Sikapku terhadap anak perempuan itu berubah, menjadi waspada. Apakah mengemis itu sudah menjadi tuntutan profesi sehingga dapat mengubah wajah yang polos menjadi agresif?

Kalau mengemis sudah menjadi profesi, dapat dibayangkan bagaimana sebenarnya mental masyarakat kita. Lantas saya teringat kepada sebuah buku yang pernah ku baca yaitu Quo Vadis karangan Henryk Sienkiewiez yang bercerita tentng zaman kekaisaran Romawi di bawah pemerintahan Nero. Dimana para pengemisnya setiap hari bergeromol di depan pintu masuk kerajaan. Mereka tentu saja bermalas-malasan sambil menanti pembagian gandum dan roti secara gratis dari kaisar. Mereka semua memuji kaisar, agar jatah roti dan gandum bertambah banyak.

Itulah etika moral masyarakat pada saat itu. Siapa yang mampu memberikan makan yang banyak kepada mereka, dialah yang akan menjadi penguasa terus menerus. Siapa yang dapat memuaskan perut mereka dialah yang disembah dan dipuja.

Jadi kekuasan pada saat itu ditentukan oleh seberapa banyak mereka dapat memberikan kepuasaan jasmani. Hal tersebut sangat berbeda dengan zaman ke khalifahan Umar. Ketika Umar bin Khatab menjadi khalifah, seringkali kita mendengar dari catatan sejarah, bahwa pada zaman itu siapa saja yang melakukan dzikir terus menerus di mesjid tanpa mau bekerja, maka Umar akan membentaknya. Karena urusan dunia tidak hanya bisa diganti dengan berdzikir saja, akan tetapi harus dengan kerja nyata.

Ketika aku pulang, dua kejadian tadi semoga dapat  mempertajam rasa pekaku terhadap kaum dhuafa. Ternyata memang kemiskinan kadang bagaikan pedang bermata dua. Disatu sisi, kemiskinan dapat menimbulkan keprihatinan, agar kita dapat membantu kaum dhuafa. Disisi yang lain, merupakan sisi negatif bila kita memanjakan mereka tanpa adanya upaya untuk mengubah, minimal memperbaiki kehidupannya agar menjadi lebih baik.

Semoga bulan-bulan yang akan kita lalui adalah bulan peningkatan dari yang telah kita lakukan di bulan ramadan ini, yang dapat mempertajam kepekaan terhadap sekeliling kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun