Saat ini barangkali pundak para guru teramat berat menanggung beban yang dipikul. Mulai dari administrasi yang membebani tiap hari. Aplikasi yang selalu bermunculan, sementara kapasitas keilmuan para guru masih belum siap berselancar dalam dinamika kekinian. Ditambah lagi ”kelakuan” para murid yang akhir-akhir ini menyisakan kurang adabnya mereka terhadap para guru.
Setengah abad yang lalu, seorang pakar pendidikan Muchtar Bochori, pernah meluncurkan gagasan segar ditengah-tengah kegersangan gagasan reformasi pendidikan.
Gagasan yang beliau luncurkan adalah mengembalikan otonomi paedagogis kepangkuan sekolah dan guru yang selama orde baru dirampas oleh kekuatan birokrasi pendidikan. Seharusnya pendidikan memperhatikan hakikat manusia, makna hidupnya, darimana asal, dan kemana perginya.
Pendidikan pada sejatinya berusaha membentuk hakikat menusia supaya dapat meraih kedewasaan. Manusia yang dapat memiliki integritas emosi, dan intelektual. Dasar inilah yang harus dikembangkan oleh sekolah dan guru.
Namun celakanya, kata Paolo Fraire, tokoh pendidikan dari Jerman. Pendidikan di dunia ketiga telah menciptakan “budaya bisu”. Pendidikan tak lebih dari sekedar lembaga legal formal yang terperangkap dalam rutinitas akademik yang uniformitas.
Di sebuah aula universitas Canada, berlangsunglah upacara wisuda. Salah satu acara wisuda adalah pemberian penghargaan kepada lulusan terbaik dengan nilai tertinggi. Tiba-tiba suatu yang luar biasa terjadi, ketika Rektor hendak menjabat tangan mahasiswa terbaik itu, dia malah merobek ijazahnya itu di hadapan guru besarnya.
Kenapa kamu robek ijazah itu? Tanya guru besarnya. Mahasiswa tersebut menjawab, “Tuan-tuan hanya mengisi otak kami dengan ilmu, tetapi tidak memberikan cinta”.
Jika dunia kehidupan nyata sangat memerlukan manusia-manusia yang suka berdikari dan berani ambil resiko, maka jelaslah bahwa dunia pendidikan pun harus mampu mendidik generasi muda yang berjiwa petualang, dalam arti kraetif, kritis, inovatif, dan mandiri, serta penuh cinta dan kasih sayang.
Namun pada kenyataannya, dunia pendidikan selalu saja dijadikan komoditas politik, yang pada akhirnya menguburkan esensi pendidikan itu sendiri.
Akhirnya tak dapat dihindari, drama yang melibatkan orang-orang yang berpendidikan terjadi secara tragis. Mulai kerumunan berseragam OSIS, sehingga terjadi perang-perangan antar pelajar, yang akhirnya menjadi tawuran masal. Ini merupakan tradisi jelek dilingkungan pendidikan kita.
Para elite berpendidikan yang merampas harta kekayaan negara, sehingga lahirlah makhluk yang bernama kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).
Keadaan yang carut marut dan centang perenang dalam dunia pendidikan saat ini, justru harus menjadi pemicu dan pemacu semangat dalam pencarian kebenaran. Maka pembaruan pada sektor pendidikan dipandang begitu mendesak.
Ada ungkapan Daniel Yose Ortega, “sekolah adalah cermin masyarakatnya. Jika rusak suatu masyarakat, maka rusak pula sekolahnya”. Maka dunia pendidikan yang pada teorinya bagus, tetapi dalam prakteknya serba berantakan. Karena pendidikan (baca: sekolah) sebagai alat negara jauh lebih dominan, dari pada pengabdi anak didik. Sungguh dunia pendidikan kita melahirkan budaya bisu dan sangat menyebalkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H