Mohon tunggu...
Muhamad Nurdin
Muhamad Nurdin Mohon Tunggu... Penulis - Mari Sama-sama Menjadi yang Terbaik

Mari Sama-sama Menjadi yang Terbaik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Nasib Guru Tidak Hanya Sekadar Hymne

14 Februari 2024   01:05 Diperbarui: 18 Februari 2024   14:08 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar (razuna.com)

Zaman kolonial Belanda, guru merupakan profesi yang mendapat tempat tersendiri di mata masyarakat. Sebutan "Juragan guru", atau "Guru ratu wong atua karo", merupakan suatu bukti, betapa terhormatnya profesi guru pada saat itu.

Penghargaan yang tinggi secara moril ini pun diikuti oleh pendapatan yang memadai.

Akan tetapi, pada zaman pendudukan Jepang, nilai seorang guru mulai merosot. Baik secara moril maupun materil.

Pada zaman itu guru sudah mulai nampak harus menghormati secara tidak wajar kepada para pejabat pemerintah. Disiplin secara kaku pun diajarkan, sikap semu mulai kelihatan menonjol termasuk sikap mental menjilat kepada atasan pun sangat dominan.

Dari segi pendapatan, tidak lagi memadai, apalagi pada saat itu semua dana tersedot untuk membiayai perang melawan musuh-musuhnya.

Di zaman revolusi fisik, tokoh guru dirasakan semakin kabur, nasib mereka semakin tidak menentu, mereka banyak yang beralih profesi.

Ada yang menajdi tentara, ada juga yang menekuni dunia politik praktis. Ini terjadi karena profesi guru tidak lagi menjanjikan harapan.

Di zaman orde baru, profesi guru agak mengalami perubahan, baik secara moral maupun material.

Namun bila dibandingkan dengan profesi lain, guru masih relatif rendah bila ditinjau dari harga imbalannya. Sebutan guru "pahlawan tanpa tanda jasa" sering diidentikan dengan rendahnya penghasilan secara material.

Di era industrialisasi seperti ini, nilai dan imbalan terhadap suatu profesi dilihat dari cepatnya memberikan kenikmatan. Profesi guru pun tidak terlepas dari penilaian seperti itu.

Demikianlah penilaian dan imbalan terhadap guru. Sungguh sangat menyedihkan memang,  tapi itulah realita yang sebenarnya.

Ada ungkapan Toenggoel P Siagian, bahwa;

"Profesi keguruan tidak memiliki bergaining position yang kuat dalam masyarakat" posisi disini adalah posisi secara finansial.

Kiranya tidak berlebihan, bahwa profesi guru bukan jabatan untuk memperkaya diri. Oleh karena itu, guru yang benar-benar baik akan menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan ungkapan  he lives to teach  dan bukan  he teach to live, sehingga mission sacre seorang yang bermartabat guru adalah mengabdikan dirinya bagi perkembangan pendidikan.

Profesi  guru merupakan pekerjaan yang mulia sebagai kader pendidik anak bangsa yang akan menghasilkan manusia pembangunan.

Oleh karena itu, wajar kiranya nasib guru harus lebih diperhatikan. Mengingat dukungan kesejahteraan guru saat ini masih jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan perjuangan, pengorbanan, dan pengabdiannya.

Ah, ternyata hidup guru bukan hanya sekedar nyanyian Hymne yang telah meninabobokan, sehingga ia terlena dan lupa terhadap apa yang selama ini menjadi haknya.

Hidup guru, sama dengan hidup para konglomerat, para pebisnis, artis dan lainnya. Yaitu perpaduan hidup yang memadukan keseimbangan antara hak dan kewajiban, sebagaimana yang didambakan oleh semua orang.

Peran di Masyarakat

Masyarakat menempatkan guru, pada tempat yang lebih "terhormat". Di lingkungannya mereka para guru masih dihormati, karena dari seorang guru masyarakat masih mendamba ilmu pengetahuan.

Keberadaan guru bagi bangsa adalah penting, terlebih bagi keberlangsungan hidup bangsa ditengah-tengah lintasan perjalanan zaman yang membutuhkan jawaban.

Karena potret diri dimasa depan tercermin dari potret guru masa kini, dan gerak maju sebuah dinamika kehidupan bangsa berbanding lurus dengan citra guru di tengah-tengah  masyarakat.

Berbicara tentang masa depan bangsa adalah berbicara tentang pendidikan.

Berbicara pendidikan tentunya juga berbicara tentang guru. Karena gurulah yang menangani anak didik supaya berkualitas sekitar dua puluh lima tahun kedepan.

Masyarakat Indonesia, dua puluh lima tahun kedepan, adalah masyarakat yang tidak bisa melepaskan diri dari kemajuan teknologi.

Untuk mendukung kebudayaan teknologi tersebut diperlukan sikap mental, rasional, kritis, berpikir secara analitis, disiplin tepat waktu.

Ini merupakan pekerjaan berat yang yang harus ditangani oleh guru. 

Bagaimana? 

"Merdeka, bung!"


Kuningan, 13/02/2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun