Mohon tunggu...
Muhamad Nurdin
Muhamad Nurdin Mohon Tunggu... Penulis - Mari Sama-sama Menjadi yang Terbaik

Mari Sama-sama Menjadi yang Terbaik

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Baliho Itu Tersenyum Renyah

11 Februari 2024   15:00 Diperbarui: 11 Februari 2024   18:13 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Baliho itu turut menyemarakan  agenda pemilu 2024. Dengan beragam ajakan tapi satu visi yang sama. Seperti demi Indonesia yang lebih baik,  baliho itu bertebaran dipinggir jalan dan belakang mobil angkot. Semuanya bernada meminta perhatian rakyat untuk mendukungnya. Ada juga yang menyebut dirinya adil, transparan, jujur, sebuah pengakuan diri yang harus diuji oleh waktu, karena label tersebut bukan datang dari orang lain tapi dirinya sendiri yang mengaku jujur. Mudah-mudahan saja itu bukan hanya “bualan kosong” yang datangnya dari Tim Sukses.

Sebelum pertarungan yang sejati itu dilaksanakan 14/02/2024 yang akan datang. Sebelumnya masyarakat bertanya: “Siapa ya, yang akan dipilih di pemilu nanti, baik  Capres dan Cawapres, dan yang banyak dikomentari juga sejumlah calon anggota legislatife. Kemudian mereka menyebut sejumlah nama, membandingkannya, memperdebatkannya, atau membiarkan nama-nama itu berlalu dalam dialog yang tak selesai. Atmosfer dialog tentang calon diwarnai oleh berjenis nuansa, latar belakang ilmu dan pengetahuan, kecenderungan budaya, fanatisme golongan, pandangan kebatinan,  juga berbagai wawasan yang resmi maupun serabutan.

Tentu, semuanya memiliki kesamaan yaitu perhatian yang mendalam kepada kepemimpinan nasional maupun daerah yang akan memimpin dan cinta kasih yang tak pernah luntur terhadap daerah, bangsa, tanah air, dan negara. Tidak hanya mengejar gengsi dan kekuasaan, atau numpang tenar sesaat, dengan memasang baliho yang besar sambil “tersenyum” renyah menyapa masyarakatnya. Mudah-mudahan saja baliho-baliho yang tersenyum menawan itu tidak dijadikan penarik aji mumpung sesaat, setelah itu tertelan bumi entah kemana.

Memang  wacana itu sekarang sedang bertebaran di warung-warung, bengkel-bengkel motor, serambi masjid, gardu ronda, juga di semua lapisan masyarakat, kantor-kantor pemerintah dan kantor profesional, ruangan-ruangan kaum cendekiawan, istana-istana kaum pengusaha, termasuk di sekitar meja  pemerintahan sendiri. Ketika saatnya tiba, mereka memilih, ada yang berdiam diri bergeming dari posisinya sekarang bersama pemerintahan yang sedang  “berkuasa”. Ada yang menoleh kemungkinan mendulang harapan ke pemimpin tradisional, dan pendatang baru “dengan mengatasnamakan” putra daerah. Padahal tidak zamannya lagi mengatasnamakan putra daerah, selama ini mereka tak pernah datang dan memperjuangkan hak hak rakyatnya. Sekarang  yang diutamakan adalah kinerja dan prestasi. Pergerakan terjadi ke berbagai arah, lama maupun baru, dan semuanya selalu sangat menggairahkan, bagaikan air menelusup, mengalir, dan sejatinya bermuara pada keabadian.

Sekarang, para petinggi partai sedang komat kamit untuk menentukan siapa yang layak dimunculkan kepermukaan yang layak dipilih. Tentunya lobi-lobi politik, manuver politik kelas tinggi sedang dijalankan. Tentunya kalkulasi politik petinggi partai tidak mau kader terbaiknya sedikit mendulang suara. Begitupun dengan kader-kader partai sedang meretas jalan kekuasaan untuk layak dipilih oleh partai dan yang lebih penting hasil pilihan rakyat.

Pertanyaan terakhir adalah, apabila kekuasaan itu tidak dapat diraih, maka jawabnya adalah, biarkan nurani bicara dengan hati yang selesai. Itu lebih baik, jangan sampai menghitung kalkulasi berapa rupiah yang telah dikeluarkan, anggap saja itu adalah merupakan “sedekah” lima tahunan. Dan ironi sebuah kekuasaan adalah “menghambur-hamburkan”  pundi-pundi yang telah digenggamnya selama ini.

Kekasih Sejati

Rakyat  sangat tangguh sehingga posisinya bukan menuntut, menyalahkan, dan menghukum pemerintahnya, melainkan menerima, memafhumi kekurangan, dan sangat mudah memaafkan kesalahan pemerintahnya. Bahkan, rakyat begitu sabar, tahan dan arifnya tatkala sering kali mereka yang dituntut, dipersalahkan, dan dihukum oleh pemerintahnya sendiri, itulah yang disebut dengan kekasih sejati. 

Kekasih sejati memiliki keluasan jiwa, kelonggaran mental, dan kecerdasan pikiran untuk selalu melihat sisi baik dari kepribadian dan perilaku kekasihnya. Prasangka baik dan kesiagaan bersyukur selalu menjadi kuda-kuda utama penyikapannya terhadap pihak yang dikasihinya. Kekasih sejati tidak memelihara kesenangan untuk menemukan kesalahan kekasihnya, apalagi memperkatakannya.

Bagaimana pun panjangnya tangan pemerintah, rakyatlah yang selalu dijadikan alasan. Semuanya menjadi beban rakyatnya. Ketika sembako membungbung tinggi, ketika BBM akan naik lagi, ketika bansos diklaim sebagai pemberiannya, dan ketika semuanya lelap mendendangan nyanyian padamu negeri,  maka rakyat yang menjadi taruhannya. Rakyat yang menanggung beban berat itu. Tapi apakah rakyat surut cintanya kepada negeri ini. Tidak! Sama sekali tidak!

Puncak kekuatan dan cinta rakyat, adalah menumbuhkan rasa percaya diri kekasihnya, menjaga jangan sampai kekasihnya merasa tak dibutuhkan. Rakyat selalu memelihara suasana hubungan yang membuat pemerintah merasa mantap bahwa ia sungguh-sungguh diperlukan oleh rakyatnya. Rakyat selalu bersikap seolah-olah ia membutuhkan pemerintahnya, presidennya, menterinya, gubernurnya,  bupatinya, legislatifnya,  beserta seluruh jajaran birokrasi tugas dan kewajibannya. Bahkan, rakyat mampu menyembunyikan rasa sakit hatinya agar si pemerintah tidak terpuruk hatinya dan merasa gagal.

Lebih dari itu, meski sering kali rakyat merasa bahwa keberadaan pemerintahnya sebenarnya lebih banyak mengganggu daripada membantu, lebih banyak merugikan daripada menguntungkan, atau lebih banyak mengisruhkan daripada menenangkan, rakyat tak akan pernah mengungkapkan kandungan hatinya itu dengan sporadis.

Itulah rakyat sebagai kekasih sejati, para calon seharusnya sudah menerka-nerka akan dibawa kemana hati para pemilih dan pendukungnya, pun yang tidak mendukungnya adalah sebagai warga yang terus harus diayomi. Manakala tidak? Rakyat memang tidak akan protes, hanya mengelus dada.

Semoga saja senyum di baliho, dan menyebut sebagai pendekar rakyat akan terus dibawa ke gedung-gedung rakyat, disana akan digodok, mana kepentingan rakyat, mana kepentingan tim sukses, mana kepentingan keluarga. Jangan sampai  ketika masih calon di undang kedaerah pinggiran sangat antusias, tapi setelah jadi malas ah, Emang Gue Pikirin, nah lho?  Di hari hari terakhir,  selamat berkampanye landai landai.

Muhamad Nurdin

Kuningan, 11/02/2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun