Mohon tunggu...
Muhamad Nurdin
Muhamad Nurdin Mohon Tunggu... Penulis - Mari Sama-sama Menjadi yang Terbaik

Mari Sama-sama Menjadi yang Terbaik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Di Balik Cerita Orang yang Kuliah Program Doktor

11 Februari 2024   08:39 Diperbarui: 11 Februari 2024   15:45 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ketika dengan tegar membusung dada, berdiri dan berjalan terbungkus toga hitam, bertopi kesarjanaan, di bawah ribuan pasang mata. Lengkaplah sebuah kebanggaan menggumpal menggetarkan jiwa. Saat bukan lagi bayang-bayang, tapi telah menjadi kenyataan, ia seolah sedang merambah jalan menuju surga dunia. Hidup dilihatnya sebagai hiasan dinding ciptaan pelukis aliran naturalis. Pada hari diwisuda, untuk pertama kalinya mengayunkan langkah sebagai sarjana keluar dinding kampus, sambil berucap “bebas euy” tak lupa melambaikan tangan, “selamat tinggal” kampus tercinta.

Itulah suasana 28 tahun yang lalu ketika penulis di wisuda (S1), dengan ayunan langkah yang terbata-bata, serasa berpijak pada bumi yang bergetar. Disela itu 16 tahun yang lalu (2012),  penulis juga diwisuda sebagai Magister Pendidikan (S2) di IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Pada tahun yang sama (2012)  mengikuti program Doktor, dan telah di wisuda 6 tahun yang lalu, tepatnya tahun 2018. Dengan disertasi tentang “Peningkatan Kompetensi Profesionalisme Guru Pendidikan Agama Islam: Melalui Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB).  Kata kuncinya dari disertasi itu adalah, kenapa sebahagian besar guru itu kurang professional? Dan hasil dari penelitian tersebut ternyata solusinya, apabila kesejehteraan guru meningkat, maka akan meningkat pula guru yang professional.

Untuk menempuh pendidikan Doktor ini bukan perkara mudah, harus ada kesiapan mental untuk jadi pemenang, mulai dari kesiapan mental  istri, keuangan, keuletan, dedikasi, waktu, tenaga, pikiran, dan tentunya cibiran dari kanan-kiri. Pastinya ada yang pro, juga ada yang kontra. Karena mengikuti program Doktor didunia birokrasi sepertinya masih jadi barang “langka”.

Apakah semua itu masalah? Bagi saya justru itulah seninya, betapa indah kehidupan ini,  andai saja ada yang menohok dalam kehidupan kita. Ketika semua beban itu terpecahkan, sungguh luar biasa nikmat.

Saya menempuh program Doktor di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, teringat kepada pesan guru besar  Prof Dr H Baihaqi Ak, (alm) semoga Allah memberikan kemudahan baginya di alam barzah. Beliau selalu mengingatkan, jangan sampai api semangatnya hilang, maka jagalah apinya itu. Artinya bahwa kapan saja saudara ada kesempatan untuk menempuh pendidikan lebih lanjut (S2/S3), silahkan tempuh. Tapi kalau apinya padam (semangatnya) maka “habislah” kehidupan itu. Maka dari itu peliharalah kobaran semangat untuk terus belajar.

Itulah nasihat yang selalu beliau ucapkan baik waktu perkuliahan di dalam kelas atau ketika berkunjung ke rumahnya di komplek perumahan dosen IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Pelihara kobaran api spirit sejarah kata Bung Karno, atau meminjam istilah Prof Dr Ahmad Mansur Suryanegara (guru besar UIN/Unpad Bandung), Api sejarah yang tidak boleh padam.

Cita-cita menjadi Doktor adalah cita-cita saya sejak kecil, cita-cita yang sudah lama terpendam. Bahkan saya bercita-cita menjadi guru besar (professor), pemangku jabatan keilmuan tertinggi.  Karena,  pada suatu padepokan silat ada guru ulung yang dijuluki “pendekar”, pada pondok pesantren ada guru alim  yang dijuluki “kyai”,  pada perguruan tinggi ada pakar yang dikukuhkan sebagai “guru besar”. Dan pada lembaga pendidikan ada guru yang berkualitas.

Orang arif menasehati, kalau mau berguru ilmu silat datanglah kepada pendekar ulung yang terkenal, kalau mau belajar agama datanglah kepada seorang kyai yang tersohor,  kalau mau kuliah datanglah ke kampus yang banyak bertebaran guru besar kenamaan, dan kalu mau sekolah datanglah ke sekolah yang gurunya berkualitas.

Saya selalu saja menitikan air mata ketika beberapa orang guru besar dengan jubah kebesarannya, berjalan sebagai pengampu keilmuan, waktu wisuda berlangsung. Wejangannya mendesir masuk kerelung  para mahasiswanya. Sungguh luar biasa. Disetiap kesempatan baik itu menghadiri wisuda, atau saya sendiri yang diwisuda, ataupun melihat acara di TV yang diwisuda, tak terasa mata ini selalu saja berderai sungguh luar biasa.

Saya akan bercerita tentang orang-orang yang menempuh program Doktor. Mudah-mudahan tulisan ini menjadi sumber inspirasi. Dibalik kesulitan terhampar luas kemudahan, betapa indah hidup ini pada akhirnya.

Sosok Doktor barangkali merupakan jenjang tertinggi dalam sebuah pendidikan, tidak ada lagi lanjutannya. Dalam tulisan ini saya akan bercerita tentang sosok Doktor yang tadinya mengalami hambatan akhirnya berbuah kesuksesan.

Prof Dr Ahmad Tafsir, MA (Guru Besar pendidikan Islam UIN SGD Bandung) beliau menamatkan Doktor selama kurang lebih 4 tahun, penelitiannya tentang sekolah Islam. Kenapa sekolah Islam, baik itu Muhammadiyah dan NU secara pukul rata tidak maju, kalah oleh sekolah Kristen. Jawabanya adalah karena orang Muhammadiyah dan NU (orang Islam) tidak mempunyai rasa memiliki. Benarkah demikian? Beliau menempuh program Doktor bukan tanpa masalah, keluarganya hampir-hampir “hancur” karena konsentrasi penuh dalam penelitian disertasinya. betapa indah hidup ini pada akhirnya. Sekarang siapa yang tidak mengenal Ahmad Tafsir, sosok ahli Pendidikan Islam pertama yang dimiliki IAIN saat itu.

Prof Dr Nazaruddin Umar, MA (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah). Beliau sekarang sebagai mantan Wakil Menteri Agama RI. Disertasinya tentang masalah gender perspektif al-Quran. Penelitiannya saja hampir 5 tahun, tidak hanya di Indonesia, juga di luar negeri, kurang lebih 8 negara yang dia kunjungi. Jadi untuk menyandang gelar Doktor, Prof. Nazarudin  menghabiskan waktu hampir 8 tahun. Waktu yang sangat panjang. Beliau sering mengisi di rubrik inspirasi di HU Republika. Tapi betapa indah hidup ini pada akhirnya

Dr . H. Attoillah, M.Ag (Kabag TU Kemenag Jabar) menyandang gelar Doktor menghabiskan waktu sekitar 7 tahun. Ditengah kesibukan waktu itu beliau sebagai Kepala Kementerian Agama Kabupaten Sumedang, dan beralih menjadi Kepala Bagian TU Kemenag Jawa Barat, sungguh memerlukan waktu dan tenaga yang tidak sedikit, membutuhkan ketekunan dan keuletan. Ketika saya Tanya apa rahasianya? “fokus”  katanya.  Beliau mempertahankan disertasinya di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Betapa indah hidup ini pada akhirnya

Masih banyak orang yang menyandang gelar Doktor, tentunya dengan ragam pengalaman yang berbeda. Selamat berjuang,  sebelum melangkah kemasa depan terpaktur adanya sebuah jalan, membuka renungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun