Ketika dengan tegar membusung dada, berdiri dan berjalan terbungkus toga hitam, bertopi kesarjanaan, di bawah ribuan pasang mata. Lengkaplah sebuah kebanggaan menggumpal menggetarkan jiwa. Saat bukan lagi bayang-bayang, tapi telah menjadi kenyataan, ia seolah sedang merambah jalan menuju surga dunia. Hidup dilihatnya sebagai hiasan dinding ciptaan pelukis aliran naturalis. Pada hari diwisuda, untuk pertama kalinya mengayunkan langkah sebagai sarjana keluar dinding kampus, sambil berucap “bebas euy” tak lupa melambaikan tangan, “selamat tinggal” kampus tercinta.
Itulah suasana 28 tahun yang lalu ketika penulis di wisuda (S1), dengan ayunan langkah yang terbata-bata, serasa berpijak pada bumi yang bergetar. Disela itu 16 tahun yang lalu (2012), penulis juga diwisuda sebagai Magister Pendidikan (S2) di IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Pada tahun yang sama (2012) mengikuti program Doktor, dan telah di wisuda 6 tahun yang lalu, tepatnya tahun 2018. Dengan disertasi tentang “Peningkatan Kompetensi Profesionalisme Guru Pendidikan Agama Islam: Melalui Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB). Kata kuncinya dari disertasi itu adalah, kenapa sebahagian besar guru itu kurang professional? Dan hasil dari penelitian tersebut ternyata solusinya, apabila kesejehteraan guru meningkat, maka akan meningkat pula guru yang professional.
Untuk menempuh pendidikan Doktor ini bukan perkara mudah, harus ada kesiapan mental untuk jadi pemenang, mulai dari kesiapan mental istri, keuangan, keuletan, dedikasi, waktu, tenaga, pikiran, dan tentunya cibiran dari kanan-kiri. Pastinya ada yang pro, juga ada yang kontra. Karena mengikuti program Doktor didunia birokrasi sepertinya masih jadi barang “langka”.
Apakah semua itu masalah? Bagi saya justru itulah seninya, betapa indah kehidupan ini, andai saja ada yang menohok dalam kehidupan kita. Ketika semua beban itu terpecahkan, sungguh luar biasa nikmat.
Saya menempuh program Doktor di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, teringat kepada pesan guru besar Prof Dr H Baihaqi Ak, (alm) semoga Allah memberikan kemudahan baginya di alam barzah. Beliau selalu mengingatkan, jangan sampai api semangatnya hilang, maka jagalah apinya itu. Artinya bahwa kapan saja saudara ada kesempatan untuk menempuh pendidikan lebih lanjut (S2/S3), silahkan tempuh. Tapi kalau apinya padam (semangatnya) maka “habislah” kehidupan itu. Maka dari itu peliharalah kobaran semangat untuk terus belajar.
Itulah nasihat yang selalu beliau ucapkan baik waktu perkuliahan di dalam kelas atau ketika berkunjung ke rumahnya di komplek perumahan dosen IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Pelihara kobaran api spirit sejarah kata Bung Karno, atau meminjam istilah Prof Dr Ahmad Mansur Suryanegara (guru besar UIN/Unpad Bandung), Api sejarah yang tidak boleh padam.
Cita-cita menjadi Doktor adalah cita-cita saya sejak kecil, cita-cita yang sudah lama terpendam. Bahkan saya bercita-cita menjadi guru besar (professor), pemangku jabatan keilmuan tertinggi. Karena, pada suatu padepokan silat ada guru ulung yang dijuluki “pendekar”, pada pondok pesantren ada guru alim yang dijuluki “kyai”, pada perguruan tinggi ada pakar yang dikukuhkan sebagai “guru besar”. Dan pada lembaga pendidikan ada guru yang berkualitas.
Orang arif menasehati, kalau mau berguru ilmu silat datanglah kepada pendekar ulung yang terkenal, kalau mau belajar agama datanglah kepada seorang kyai yang tersohor, kalau mau kuliah datanglah ke kampus yang banyak bertebaran guru besar kenamaan, dan kalu mau sekolah datanglah ke sekolah yang gurunya berkualitas.
Saya selalu saja menitikan air mata ketika beberapa orang guru besar dengan jubah kebesarannya, berjalan sebagai pengampu keilmuan, waktu wisuda berlangsung. Wejangannya mendesir masuk kerelung para mahasiswanya. Sungguh luar biasa. Disetiap kesempatan baik itu menghadiri wisuda, atau saya sendiri yang diwisuda, ataupun melihat acara di TV yang diwisuda, tak terasa mata ini selalu saja berderai sungguh luar biasa.
Saya akan bercerita tentang orang-orang yang menempuh program Doktor. Mudah-mudahan tulisan ini menjadi sumber inspirasi. Dibalik kesulitan terhampar luas kemudahan, betapa indah hidup ini pada akhirnya.
Sosok Doktor barangkali merupakan jenjang tertinggi dalam sebuah pendidikan, tidak ada lagi lanjutannya. Dalam tulisan ini saya akan bercerita tentang sosok Doktor yang tadinya mengalami hambatan akhirnya berbuah kesuksesan.