Berbicara tentang pendidikan, guru merupakan titik sentral.
Guru adalah faktor yang dominan dalam proses pendidikan dan salah satu masukan instrumental yang sangat penting dalam proses belajar mengajar. Dapat dikatakan bahwa proses pendidikan di sekolah sangat bergantung kepada guru.
Menjadi guru itu tidak mudah. Guru bukanlah pekerjaan biasa, tapi pekerjaan yang luar biasa.
Pekerjaan guru tidak hanya mengajar atau menjadi tukang di sekolah. Tetapi tugas guru adalah mendidik.
Mendidik tidak hanya dibatasi oleh dinding empat persegi dan pagar sekolah.
Karena itulah mendidik tidak hanya memberikan informasi kepada peserta didik, transfer of knowledge.
Tetapi juga membentuk kepribadian dan mengembangkan potensi bakat yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik, transfer of ettitudes and values.
Dengan demikian, maka ranah kognitif, afektif dan psikomotorik secara serempak akan tercakup dalam proses pembelajaran yang melibatkan eksistensi peserta didik.
Akan tetapi dalam menjalankan tugasnya, guru menanggung beban psikologis.
Paling tidak ada empat hal yang menjadi beban psikologis guru.
Pertama, tidak adanya kewenangan yang benar-benar diserahkan kepada guru. Jangankan yang bersifat birokratis, yang bersifat edukatif pun kadang-kadang guru tidak mempunyai kewenangan atau keberanian. Di sekolah proses belajar mengajar berjalan dengan lancar dan tertib seolah-olah tidak ada masalah. Seluruh materi yang diajarkan selesai sesuai kurikulum. Nilai raport pun semuanya baik, dijamin para siswa minimal mendapatkan rata-rata enam, dengan jalan dikatrol.
Dibalik semua itu ternyata hati para guru “menjerit” karena tidak adanya kebebasan guru dalam memberikan nilai pada muridnya. Pemberian nilai tidak hanya didasarkan pada prinsip-prinsip pendidikan, tetapi sudah diwarnai dengan berbagai pertimbangan baik politis maupun keamanan.
Kedua, berhubungan dengan prilaku peserta didik. Dalam dunia pendidikan kita, fakta membuktikan bahwa penyalahgunaan narkoba, mulai dari tingkat SD sampai Perguruan Tinggi sudah demikian maraknya.
Selain masalah narkoba, generasi pelajar kita pun sudah terbiasa dengan kehidupan seks bebas.
Ditengah tantangan zaman yang semakin hari kian sarat dengan tindakan yang mengarah kepada distorsi kemanusiaan. Guru harus tampil kedepan sebagai pembela nilai-nilai kemanusiaan yang sejati.
Ketika anak didik mulai digerogoti racun narkoba, pergaulan bebas, dan perilaku menyimpang lainnya, guru tampil sebagai penyelamat. Beban yang harus dipikul guru memang terasa berat, tetapi memang harus dipikulnya.
Secara psikologis, profesi guru memang kurang bisa dibanggakan. Sekarang ini, profesi guru sudah identik dengan ”kemiskinan”. Lihat saja realitanya, anak didik ke sekolah naik mobil Toyota, guru naik motor Astrea. Yang terjadi akhirnya adalah rasa “minder” atau tidak “PD”, yang menggelayut dalam diri guru.
Ketiga, beban kurikulum yang dipikul oleh para guru amat padat bahkan terjadi “pemaksaan” dalam dua hal, yaitu dalam hal alokasi waktu yang terbatas. Dan dalam hal daya serap peserta didik terhadap apa yang disampaikan oleh para guru. Beban kurikulum yang diberikan oleh para guru tidak sesuai dengan alokasi waktu yang tersedia.
Oleh karena itu, untuk mengatasi beban psikologis guru, sebaiknya perlu dirampingkan tanpa mengurangi target kurikulum. Disinilah barangkali perlunya seorang guru mampu “menghidupkan” kurikulum sedemikian rupa. Sehingga dapat menumbuhkan keterampilan dasar sekaligus dapat menumbuhkan keterampilan berfikir.
Selain itu pada diri peserta didik harus ditumbuhkan bahwa belajar adalah proses menyenangkan, dan pada diri guru juga harus dikembangkan keyakinan bahwa mengajar merupakan pekerjaan yang menantang dan menyenangkan.
Keempat, berhubungan dengan keseragaman dalam melaksanakan tugas pengajaran. Terlalu banyak aturan yang dituangkan dalam petunjuk teknis dapat mematikan kreativitas para guru. Oleh karena itu, guru harus diberikan kebebasan untuk mengembangkan prakarsanya sendiri untuk mencapai target kurikulum.
Dengan demikian kita harus mengembalikan otonomi pedagogis kepangkuan sekolah dan guru, yang selama orde baru “dirampas” oleh kekuatan birokrasi pendidikan.
Sehingga para guru dan tenaga kependidikan lainnya hanya menjadi pelaksana rutin dari sebuah keinginan birokrasi.
Sejatinya para guru dan tenaga kependidikan, bebas berekspresi dalam menuangkan gagasan dan keinginannya. Kreativitas itu harus dapat dihargai oleh sistem penilaian kinerja guru yang menjadi dasar dalam pengembangan kariernya.